Kemacetan kota Jakarta dan kondisi jalan berlubang dimana-mana karena sedang ada pembangunan besar-besaran jalan layang, tak menyurutkan semangatku untuk menyambangi lokasi Pameran Batik Betawi Terogong di Lobby Area, BEST WESTERN PREMIER The Bellevue, Jl. Haji Nawi Raya No. 1, Radio Dalam, Jakarta Selatan. Rasa ingin tahuku yang besar kepada Batik Betawi, membuat diriku batalkan agenda kunjungi kantor rekan di kawasan Senayan, setelah sebelumnya ku hadir dalam konferensi pers acara atletik di Setiabudi.Â
Jujur, baru kali ini diriku mengetahui ada yang namanya Batik Betawi. Sepengetahuanku hanya mengenal yang namanya Batik Pekalongan, Batik Solo, Batik Semarang, Batik Madura, Batik Bali dan Batik Flores. Minatku terhadap batik bukan dadakan semata karena adanya Kompasiana Coverage kunjungi Pameran Batik Betawi Terogong. Diriku telah lama mendukung pelestarian kekayaan budaya tradisional batik. Bulan Maret 2012, kegiatanku belajar 'Mbathik' di Semarang, bahkan sempat masuk berita di salah satu media massa online besar. Tujuh bulan berselang, diriku memenangkan lomba blog dengan tema narsis mengenakan pakaian batik.
Karena agak ngebut di perjalanan dari Setiabudi ke Radio Dalam, diriku tiba di The Bellevue Radio Dalam satu jam lebih awal dari waktu acara Kompasiana Coverage yang direncanakan. Karena belum ada orang lain yang ku kenal hadir, sambil menunggu rekan Kompasianer yang lain tiba, diriku menyempatkan diri mengambil beberapa foto di lokasi Pameran Batik Betawi Terogong yang terletak di sudut lobby The Bellevue. Ondel-Ondel besar menjadi latar di booth yang menampilkan beberapa Kain Batik Betawi.Â
Beberapa puluh menit setelah diriku menunggu di lobby hotel, rekan-rekan Kompasianer akhirnya berdatangan. Aku perhatikan ada empat Kompasianer yang datang mengenakan pakaian bercorak batik, yaitu Wardah Fajri, Dewi Puspasari, Uci Junaedi dan Tigor Simanjuntak.Â
Pukul 16.30 WIB, acara bincang-bincang membahas Batik Betawi dimulai, bertempat di Angsana Lounge yang terletak di lantai 1. Ibu Eleine Koeyono selaku Marcom Manager The Bellevue, sangat ramah menyambut kedatangan Kompasianer. Mpok Wardah Fajri yang kebetulan orang asli Betawi, tampak bersemangat menjadi moderator. Lalu Mpok Wardah Fajri memanggil Enyak Siti Laela sebagai nara sumber tentang Batik Betawi. Enyak Siti Laela tampil rapi mengenakan batik corak warna oranye dan hitam.
(Enyak Siti Laela Sedang Bercerita Batik Betawi, dimoderatori Mpok Wardah)
Lalu Enyak Siti Laela bercerita  banyak tentang Batik Betawi yang membuatku tergugah dan terkesan. Enyak Siti Laela mengawali ceritanya dengan mata sedikit berkaca-kaca, saat dirinya menceritakan tahun 1970-an kawasan Kampung Terogong masih kental dengan kebudayaan Betawi. Pada masa itu masih cukup banyak orang yang menjadi pengrajin Batik Terogong. Namun, saat ini kebudayaan Betawi di Terogong perlahan terkikis oleh kemajuan jaman, terlebih kawasan Kampung Terogong kini telah berubah jadi kawasan perumahan elit Pondok Indah.Â
Enyak Siti Laela merasa miris dengan kondisi bahwa sangat jarang warga Jakarta masa kini yang mengenal Batik Betawi. Padahal Batik Betawi sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Sayangnya, karena pendokumentasian yang buruk, hingga saat ini Enyak Siti Laela belum menemui dokumentasi tulisan atau foto otentik yang menjelaskan keberadaan Batik Betawi pada masa lampau. Enyak Siti Laela meyakini bahwa dokumentasi mengenai Batik Betawi ada di salah museum di Belanda seperti Museum Universitas Leiden.
Karena kecintaannya yang besar terhadap budaya Betawi, serta niat inging memberdayakan wanita Betawi di Kampung Terogong, Enyak Siti Laela yang juga berprofesi sebagai guru ini, memutuskan untuk mendirikan Sanggar Batik Betawi Terogong pada bulan September 2012.Â
Awalnya cukup sulit bagi Enyak Siti Laela untuk mengajak sesama wanita warga Kampung Terogong untuk menjadi pengrajin Batik, dengan alasan bagi warga lokal setempat menjadi orang kantoran jauh lebih keren dibandingkan jadi pengrajin batik. Namun sering berjalannya waktu, berkat kegigihan niat Enyak Siti Laela memberdayakan wanita setempat, saat ini sudah ada 15 orang yang aktif menjadi pengrajin Batik Betawi Terogong.Â
Menurut penuturan Enyak Siti Laela, warna Batik Betawi cenderung cerah karena berasimilasi dengan unsur budaya Cina. Beberapa motif khas dari Batik Betawi adalah motif buketan, burung hong, ondel-odel, tanjidor dan berbagai simbol kota Jakarta. Motif andalan yang dipasarkan oleh Sanggar Batik Betawi Terogong adalah motif TEBAR MENGKUDU, yang merupakan kepedendekan kata dari Tekun Sabar Memang Kudu.Â
Enyak Siti Laela menyatakan bahwa proses distribusi pemasaran masih menjadi kendala utama dirinya dalam memperkenalkan Batik Betawi kepada khalayak luas. Maraknya penjualan batik cetak membuat skala penjualan batik tulis Betawi menjadi mengecil. Karena proses karya kreatif tangan spesial dalam pembuatan batik tulis, otomatis harga jual batik tulis lebih mahal dibandingkan batik cetak yang diproduksi dengan mesin cetak. Padahal batik cetak ini bukanlah merupakan batik. Sebuah kain bisa dikatakan sebagai batik jika kain tersebut melalui proses menggoretkan motif dengan canting dan dililin.Â
Enyak Siti Laela menambahkan, bahwa apresiasi orang lokal Indonesia untuk membeli batik tulis masih rendah. Sanggar Batik Betawi Terogong sering membuka stand di berbagai pameran, namun sangat langka orang Indonesia yang mau membeli batik tulis. Mirisnya, malahan warga negara asing yang memiliki ketertarikan tinggi untuk membeli batik tulis. Enyak Siti Laela mengaku memiliki pelanggan tetap yang berasal dari Brasil. Pada bulan Oktober ini, Enyak Siti Laela bahkan mendapatkan undangan dari Duta Besar Jepang untuk hadir dalam eksebisi batik.
Lama proses pembuatan kain batik Betawi Terogong tergantung dengan corak yang akan dibuat. Jika kain batik yang dikerjakan hanya terdiri dari dua warna, maka proses pengerjaannya hanya membutuhkan dua hari. Semakin banyak corak warna yang ditorehkan dalam membuat kain batik, maka proses pengerjaannya semakin lama.
Sanggar Batik Betawi Terogong menjual kain batik tulis ukuran 2,5 x 1,1 m seharga 450 ribu Rupiah untuk corak tiga warna, dan 350 ribu Rupiah untuk corak dua warna. Sedangkan batik cap dengan ukuran yang sama dijual dengan harga 200 ribu Rupisah untuk corak dua warna, dan 150 ribu Rupiah untuk corak satu warna. Enyak Siti Laela mengaku sering diajak oleh beberapa pihak untuk bekerja sama memproduki batik cetak menggunakan brand Batik Betawi Terogong, dengan tujuan untuk memperkecil harga jual. Namun Siti Laela menolak tawaran tersebut, karena dirinya bukan sekedar ingin menjual batik saja, namun ingin melestarikan budaya membatik ala Betawi.Â
Sanggar Batik Betawi Terogong sudah memanfaatkan kemajuan teknologi internet untuk memperkenalkan dan memasarkan produk, dengan membuat website www.batikbetawiterogong.com. Sanggar ini juga rajin memperkenalkan batik Betawi lewat berbagai aku media sosial seperti Fan Page Facebook dan Twitter.Â
Marcom Manager The Bellevue, Eleine Koesyono, mengaku juga baru tahu dengan adanya Batik Betawi Terogong. Karena kebetulan perusahaan tempat dirinya bekerja sedang menggelorakan semangat 'We Love Indonesia', Eleine Koesyono lalu mengajak Sanggar Betawi Terogong untuk memamerkan kain-kain batik di lobby hotel The Bellevue Radio Dalam dari tanggal 5 hingga 9 Oktober lalu.Â
(foto utama: istimewa/Siti Laela)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H