Mohon tunggu...
Yuriadi
Yuriadi Mohon Tunggu... Lainnya - | Penulis lepas | https://www.kompasiana.com/ceritayuri

Warga Negara Indonesia (WNI) biasa dari Kota Makassar. Menyukai informasi teknologi, sosial, budaya dan jalan-jalan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengendalikan Regresivitas PPN Agar Kelas Menengah Tidak Semakin Jatuh dan Terjerembab

20 November 2024   15:08 Diperbarui: 20 November 2024   15:48 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: akuntansi - Sumber gambar /pixabay.com @Flyfin) 

Kelas menengah Indonesia sudah lama dianggap sebagai pilar utama perekonomian nasional, dengan kontribusi signifikan mereka terhadap pertumbuhan konsumsi barang dan jasa. Namun, meningkatnya tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi PPN 12 persen sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), dapat membawa dampak besar bagi keberlanjutan kelas menengah ini, bahkan berpotensi menyebabkan penurunan status kelas ekonomi mereka. Dampak dari kebijakan ini harus dianalisis dengan cermat, melihat bagaimana perubahan tarif pajak ini memengaruhi daya beli, pola konsumsi, dan ketahanan ekonomi kalangan menengah.

Kelas menengah memegang peran yang sangat penting dalam transisi sebuah negara dari ekonomi berkembang menuju ekonomi maju. Sebagai motor penggerak konsumsi domestik, kelas menengah memiliki daya beli yang besar, yang berkontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB). Selain itu, mereka juga berperan dalam mendorong peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, serta inovasi yang dapat merangsang pertumbuhan sektor-sektor lain dalam perekonomian.

Di negara berkembang seperti Indonesia, kelas menengah bertanggung jawab atas sebagian besar konsumsi barang dan jasa. Laporan dari Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2021 mencatat bahwa kelas menengah Asia, termasuk Indonesia, diperkirakan akan tumbuh pesat dalam dua dekade mendatang. Menurut Bank Dunia, kelompok kelas menengah yang terus berkembang memiliki potensi besar untuk mempercepat transformasi ekonomi. Kelas menengah yang tumbuh ini tidak hanya meningkatkan permintaan domestik, tetapi juga menjadi pendorong investasi dan inovasi, dua hal yang sangat dibutuhkan untuk mencapai status negara maju.

Namun, ada tantangan besar yang harus dihadapi, salah satunya adalah bagaimana mempertahankan daya beli kelas menengah di tengah inflasi dan peningkatan biaya hidup. Penurunan daya beli bisa menghambat potensi kelas menengah sebagai penggerak utama ekonomi domestik.

Rentannya Kelas Menengah Untuk Terjerembab
Kenaikan tarif PPN 12 persen merupakan langkah penting bagi pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara. PPN adalah pajak tidak langsung yang diterapkan pada konsumsi barang dan jasa, yang berarti konsumen yang harus menanggung beban pajak tersebut, bukan produsen. Meskipun kebijakan ini diharapkan dapat menambah penerimaan negara, dampaknya lebih terasa pada kalangan menengah yang seringkali menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan konsumsi.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga pada kelas menengah menyumbang lebih dari 50% terhadap PDB Indonesia. Data terbaru menunjukkan bahwa kalangan menengah, yang biasanya menghabiskan sekitar 60-70% dari pendapatan mereka untuk kebutuhan sehari-hari, kini merasa tertekan dengan kenaikan harga barang akibat PPN yang lebih tinggi. Ini bukan hanya soal harga barang, tetapi juga berpengaruh pada pola konsumsi dan gaya hidup mereka.

Kelas menengah Indonesia sudah lama berada di posisi yang rentan. Meskipun mereka tidak termasuk dalam kategori sangat miskin, tetapi posisi mereka di tengah sangat rentan terhadap guncangan ekonomi. Hal ini terlihat dalam data yang menunjukkan bahwa hampir 40% dari populasi kelas menengah berada pada batas antara kelas menengah dan kelas bawah, yang berarti sedikit perubahan dalam kondisi ekonomi dapat mengubah status mereka secara signifikan. Kenaikan PPN 12 persen dan inflasi yang mengikutinya juga diprediksi memperburuk daya beli mereka. Dengan harga barang dan jasa yang semakin tinggi, banyak keluarga kelas menengah yang terpaksa mengurangi pengeluaran mereka pada barang-barang non-esensial, seperti hiburan dan liburan. Bahkan, beberapa keluarga mulai mengurangi pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan, yang selama ini menjadi prioritas dalam menjaga kualitas hidup.

Jika kelas menengah berkurang, dampaknya terhadap sektor industri manufaktur dalam negeri bisa sangat signifikan, mengingat kelas menengah memiliki peran penting dalam meningkatkan permintaan domestik untuk barang-barang konsumsi. Dalam konteks ekonomi Indonesia yang sedang berkembang, kelas menengah adalah kontributor utama terhadap permintaan barang dan jasa, termasuk produk-produk manufaktur seperti kendaraan, elektronik, pakaian, dan peralatan rumah tangga.

Apa itu Regresivitas PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenal dengan sifat regresifnya, yang berarti beban pajak lebih berat pada konsumen dengan penghasilan rendah dibandingkan dengan penghasilan tinggi. Sebagai contoh, jika seseorang yang berpenghasilan Rp2 juta menghabiskan Rp1,5 juta untuk kebutuhan sehari-hari, maka sebagian besar dari pendapatan mereka akan terkena PPN. Hal ini berbeda dengan orang yang berpenghasilan Rp20 juta, yang meskipun menghabiskan Rp5 juta untuk konsumsi, hanya membayar pajak dari sebagian kecil pendapatannya. Akibatnya, dampak kenaikan PPN lebih terasa oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

Contoh lain yang menggambarkan hal ini adalah, jika seseorang berpenghasilan rendah menghabiskan 75% dari pendapatannya untuk konsumsi, maka ia akan menanggung PPN lebih banyak dibandingkan dengan orang yang memiliki penghasilan lebih tinggi dan menghabiskan persentase yang lebih kecil dari pendapatannya untuk konsumsi. Inilah yang menyebabkan PPN terasa lebih memberatkan bagi kalangan menengah dan bawah, yang sebagian besar penghasilannya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, orang kaya yang menghabiskan sebagian kecil dari pendapatan mereka pada barang kena pajak hanya menanggung beban pajak yang lebih rendah, meskipun pengeluaran mereka untuk konsumsi lebih besar.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga memiliki sifat multi-stage levy  yang berarti pajak dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, dengan setiap transaksi atau mutasi barang dikenakan PPN yang berulang. Meskipun PPN bersifat berulang pada setiap tahap distribusi atau produksi, sifatnya yang non-kumulatif memastikan bahwa pajak tidak dikenakan dua kali untuk barang yang sama, berkat adanya mekanisme kredit pajak. Artinya, setiap pengusaha dapat mengklaim kembali PPN yang telah dibayarkan pada tahap sebelumnya. Namun, bagi konsumen akhir yang membeli barang untuk konsumsi pribadi, mereka tetap akan merasakan dampak dari penerapan PPN yang berulang-ulang pada mata rantai distribusi, terutama jika harga barang yang dibeli naik akibat pengenaan PPN pada setiap tahap. Hal ini berpotensi membuat barang yang bersifat esensial menjadi lebih mahal bagi konsumen.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Universitas Indonesia, diperkirakan bahwa lebih dari 35% masyarakat kelas menengah akan mengalami kesulitan ekonomi akibat kebijakan ini. Peningkatan tarif PPN di tengah stagnasi upah dan ketidakpastian ekonomi membuat daya beli mereka semakin terjepit. Hal ini diperburuk dengan terbatasnya akses mereka terhadap berbagai program subsidi pemerintah yang hanya menguntungkan kelompok bawah, sementara kalangan menengah kerap kali tidak mendapatkan bantuan langsung.

Beberapa sektor yang paling terpengaruh adalah sektor barang konsumsi, kendaraan, dan properti. Misalnya, industri otomotif yang selama ini menjadi salah satu indikator kelas menengah, mengalami penurunan penjualan hingga 10% pada kuartal pertama tahun 2024 akibat PPN yang lebih tinggi. Dalam data yang dirilis oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), tercatat bahwa kelas menengah yang biasanya membeli mobil baru kini cenderung menunda atau mengurangkan pembelian mereka.

Beban pajak yang semakin tinggi membuat kalangan menengah terancam terjerembab menjadi kelas bawah. Salah satu indikator penting dari status sosial dan ekonomi adalah akses terhadap barang dan jasa. Kelas menengah yang dulunya dapat menikmati berbagai fasilitas seperti perumahan, pendidikan berkualitas, dan layanan kesehatan, kini harus berjuang untuk mempertahankan daya beli mereka. Dengan kenaikan harga barang dan terbatasnya pilihan subsidi dari pemerintah, banyak dari mereka yang harus mengalihkan pengeluaran untuk bertahan hidup, alih-alih untuk meningkatkan kualitas hidup.

Selain itu, dengan semakin meningkatnya biaya hidup, banyak pekerja kelas menengah yang merasa terjepit dalam lingkaran kesulitan ekonomi. Berdasarkan riset dari Bank Indonesia, meskipun upah di sektor formal mulai meningkat, tetapi laju inflasi dan tarif PPN yang lebih tinggi cenderung menggerus daya beli mereka, sehingga kelas menengah semakin rentan terdegradasi ke dalam kategori miskin.

Diskusi dan Alterantif Solusi
Untuk menghindari terjerembabnya kelas menengah lebih dalam ke dalam kesulitan ekonomi, pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan yang lebih responsif terhadap dampak kenaikan PPN 12 persen ini. Salah satu solusi adalah dengan memberikan insentif atau potongan pajak untuk barang-barang kebutuhan dasar yang dikonsumsi oleh kalangan menengah. Pemerintah juga harus memperkuat sistem subsidi yang dapat menjangkau kalangan menengah tanpa membebani anggaran negara lebih jauh.

Program perlindungan sosial yang lebih inklusif dan efisien sangat diperlukan untuk mencegah kalangan menengah semakin terpuruk. Misalnya, memberikan bantuan tunai atau subsidi langsung untuk barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok bagi kalangan ini, seperti bahan pangan, perumahan, dan pendidikan. Kenaikan tarif PPN 12 persen pada 2024 membawa dampak yang signifikan bagi kelas menengah Indonesia. Dengan daya beli yang semakin tergerus, kalangan ini sangat rentan untuk terjerembab ke dalam kemiskinan. Oleh karena itu, kebijakan fiskal yang lebih sensitif terhadap kondisi kelas menengah perlu segera dipertimbangkan oleh pemerintah untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi, serta mencegah penurunan kelas yang dapat merugikan perekonomian nasional secara keseluruhan.
(yrd).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun