Mohon tunggu...
Tri Susanto
Tri Susanto Mohon Tunggu... -

A ghost writer, A freelance script writer, A photographer and A humble husband

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menunggu Si Agam *

4 April 2015   15:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:33 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap matahari memerah di ufuk barat, Agam pasti akan terlihat berlari di pematang neuhen** dekat rumah mereka. Membawa pulang seekor dua ekor ikan  atau kepiting yang berhasil dipancingnya di sungai.

Sambil berlari dia akan berteriak kebocah-bocahan memanggil Latifah. Biasanya Latifah sudah duduk menunggu di bale-bale depan gubugnya. Menggendong Nisah anak bungsunya.

Latifah akan tersenyum dan melambaikan tangan. Menunggu hingga Agam mendekat.

“Ini buat lauk kita ya Mak,” katanya sambil menyerahkan  hasil tangkapannya kepada Latifah.

Bila kebetulan hasil pancingannya banyak, Agam juga akan membawa sedikit uang. Hasil penjualan ikan dan kepiting di pasar. Uang itulah yang selama ini mengurangi beban Latifah dan tiga orang adik Agam lainnya.

Kehidupan Latifah memang jauh dari kecukupan. Tak heran mereka hidup dari belas kasihan warga. Suami Latifah, Nazir sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Meninggalkan Latifah dan empat orang anak tanpa warisan apa pun kecuali kemiskinan yang semakin menghimpit.

Saking miskinnya, hingga saat ini Latifah dan anak-anak yatim itu tinggal di sebuah gubug sederhana di atas tanah milik warga. Gubug itu beratapkan daun rumbia dan berdindingkan bilik yang sudah lubang-lubang.

Sehari-hari Latifah bekerja apa saja untuk menghasilkan uang. Mulai dari mencuci pakaian hingga menjadi buruh tani. Ketiga anaknya yang kecil-kecil dititipkan kepada Agam, si sulung.

“Jangan lupa masak nasi ya Gam? Ada sebutir telur di dapur. Buat lauk kalian,” pesan Latifah setiap kali dia akan bekerja.

“Iya Mak,” putra sulungnya melepas sang ibu bekerja dengan si bungsu Nisah digendongannya.

Latifah memang beruntung mendapatkan anak yang penurut dan pengertian seperti Agam.  Biar pun laki-laki dan masih berusia belasan, Agam bisa menanak nasi, mencuci pakaian, membuat telur goreng juga mengasuh ketiga adiknya yang rewel.

Agam juga begitu pengertian sehingga dia tidak pernah bertanya pada ibunya kapan dia bisa sekolah seperti teman-temannya yang lain.

“Kita tidak punya uang Nak,” selalu Latifah menghibur Agam setiap kali putra sulungnya melamun setelah melihat rombongan anak-anak sebayanya berseragam sekolah.

“Iya Mak,” kata Agam pendek.

Latifah tahu kalau Agam sangat ingin sekolah. Dia sepertinya bercita-cita menjadi guru. Latifah seringkali memergoki Agam bertingkah laku seperti guru, mengajar di depan murid yang tak lain adalah adik-adiknya.

Bila melihat itu sering hati Latifah teriris pisau.

Suatu hari Agam pulang dari sungai membawa beberapa ikan kecil, sebuah celengan plastic berbentuk bebek dan segenggam uang seribuan.

Seperti biasa dia berlari di pematang neuhen yang dekat dengan rumahnya sambil berteriak memanggil Latifah.

Latifah akan menunggu Agam mendekat sambil duduk di bale-bale. Hari ini wajah Agam begitu berseri-seri. Diserahkannya ikan kepada Latifah. Juga beberapa lembar uang seribuan yang sudah lecek dan berbau amis.

“Mak, mulai sekarang Agam akan menabung. Setiap ada rezeki Agam akan menabung 500 rupiah. Untuk sekolah,” katanya sambil menujukkan celengan berbentuk bebek itu.

Latifah mengangguk. Disekanya keringat di kening perjaka kecilnya itu.

Dan tekad Agam memang kuat. Dia semakin rajin mencari ikan dan kepiting. Sementara tabungannya mulai bergemerincing uang logaman lima ratus rupiah.

--00—

Nisah sakit.

Anak kecil itu sejak kemarin muntah dan demam. Latifah semalaman tidak tidur menjaga putri bungsunya itu. Nisah baru terlelap ketika suara Adzan terdengar dari  meunasah***.

Perempuan itu dilanda gundah yang sangat. Dia tahu sakitnya Nisah tidak bisa disembuhkan hanya dengan air gula atau obat mantri. Nisah harus dibawa ke dokter, sementara di dompetnya hanya tersisa dua lembar uang ribuan.

Latifah melihat Agam tertidur di bale-bale. Tidurnya begitu nyenyak. Celengan bebek itu dipeluknya.

Rasa sedih menyelimuti hati Latifah. Celengan bebek itu adalah satu-satunya cara yang bisa menolong  Nisah ke dokter.

Latifah ternyata keliru bila menyangka Agam akan menolak menyerahkan tabungannya. Seperti biasa dengan penuh pengertian bocah itu dengan suka rela memberikan celengan bebeknya.

“Tidak apa-apa Mak, nanti Agam akan menabung lagi,” katanya. Suaranya begitu tegas, tetapi Latifah bisa merasakan kekecewaan dalam nada bocah itu.

Latifah gagal menahan air matanya.

Sejak insiden celengan bebek itu Agam terlihat pendiam. Dia juga mulai sering membantah ibunya. Hal yang tidak pernah dilakukan selama ini. Agam menolak menjaga adik-adiknya. Kerjanya bila tidak memancing hanyalah melamun di atas dangau tempat para penjaga neuhen menjaga udang mereka.

Latifah pusing dan bingung karenanya.

Mereka pun mulai sering bertengkar.

“Agam tidak mau menjaga adik. Agam mau main Mak,” katanya suatu saat, saat Latifah harus pergi bekerja memotong padi milik kepala desa mereka.

Latifah mengigit bibirnya menahan geram. Dia terpaksa meminta anak keduanya yang masih berumur 10 tahun untuk menjaga adik-adiknya.

Sepulang bekerja sorenya, Latifah melihat Agam sedang sibuk dengan alat pancingan di bale-bale depan gubug mereka. Sementara suara  tangisan Nisah terdengar begitu keras. Entah apa yang terjadi pada balita yang belum bisa berjalan itu.

Latifah begitu lelah seharian bekerja di bawah terik matahari. Suara Nisah menangis membuat perempuan itu tidak bisa menahan emosinya.

“Agam, adik kamu menangis kenapa dibiarkan?”

Agam diam. Dia malah  membungkus perlengkapan pancingnya. Bangkit menjauhi Latifah menuju pematang neuhen.

“Awas kamu pulang ya Gam. Malam ini kamu tidak boleh makan. Mak tidak mau memberi makan anak nakal seperti kamu,” teriak Latifah.

--00—

Malam itu Agam tidak pulang.

Latifah tidak cemas karena Agam sering tidak pulang untuk menjerat kepiting. Harga kepiting lebih mahal ketimbang harga ikan sehingga dia  sering rela tidak pulang untuk mendapatkan beberapa ekor kepiting.

Menjelang subuh, suara letusan senjata terdengar. Latifah yang terbangun memeluk ketiga sibiran tulangnya yang ketakutan. Ingatannya pada Agam yang berada entah kemana. Mulutnya berkecumik membaca doa keselamatan untuk Agam.

Kampung mereka memang sering terjadi kontak senjata. Ada tentara pemerintah dan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sering wara wiri disana. Karena sering terjadi letusan peluru, kampung mereka dijuluki aparat keamanan sebagai daerah hitam.

Biasanya setelah suara senjata mereda, aparat akan menggeledah rumah masyarakat. Mencari-cari anggota GAM. Latifah menunggu di rumahnya dengan dada cemas. Ketakutan dan memikirkan Agam.

Saat suasana terang, barulah Latifah berani membuka pintu rumahnya. Dia lega karena tidak ada tentara atau penggeledahan. Tetapi Agam belum juga pulang, Latifah pun memakai kerudungnya, berniat untuk mencari Agam ke neuhen atau ke rumah teman-temannya.

Anak itu pasti takut pulang. Akan aku ajak pulang kemudian kumasakkan ikan asin kesukaannya. Dia pasti lapar karena semalaman tidak makan, kata Latifah dalam hati sambil tersenyum.

Serombongan warga mengusung jenazah korban penembakan terlihat di kejauhan. Latifah menguruhkan niatnya. Alih-alih menunggu rombongan lewat. Siapa tahu Agam ada diantara rombongan.

Namun keinginannya surut saat melihat rombongan warga itu justru masuk ke halaman gubug Latifah. Ceceran darah dari tandu berceceran sepanjang jalan menuju depan gubug. Begitu merah.

Wajah Latifah pucat. Dia menghambur menghampiri tandu. Kepalanya dipenuhi firasat yang buruk. Dan terbukti saat melihat sosok jenazah yang dibungkus dengan kain batik panjang.

Agam.

Bocah yang mau dicarinya itu rupanya ada di dalam tandu. Tubuhnya berlumuran darah dan lumpur neuhen. Kaku dan dingin.

Tangis Latifah pecah.

Tanpa menghiraukan warga yang menyuruhnya bersabar dan tabah, perempuan itu menjerit memanggil nama anak sulungnya. Kesayangannya. Tempatnya bergantung selama ini.

Rentetan pertemuan terakhirnya dengan Agam berputar kembali. Pertemuan yang berakhir dengan kemarahannya pada Agam.

“Awas kamu pulang ya Gam. Malam ini kamu tidak boleh makan. Mak tidak mau memberi makan anak nakal seperti kamu,”

Latifah memang tidak perlu memberi makan Agam selamanya. Bocah itu tidak memerlukannya lagi.

--00—

Setiap matahari memerah di ufuk barat dekat neuhen, Latifah masih setia duduk di bale-bale depan gubugnya. Menggendong Nisah.

Dia masih sering berharap melihat sosok Agam di pematang neuhen membawa ikan hasil pancingan. Berlari sambil berteriak memanggilnya…

“Mak… Ini buat lauk kita ya Mak”

Lenteng Agung, 4 April 2015

Mengenang Korban Konflik di Bireun Aceh,  Almarhum  Dedi Daud (1990-2003)

------

* Si Agam atau Sigam : Panggilan untuk anak laki-laki di Aceh

** Neuhen       : Empang tempat memelihara udang dan ikan

***Meunasah : Surau, mesjid kecil

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun