Mohon tunggu...
Ani Sudaryanti
Ani Sudaryanti Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis bagi saya, sebagai upaya penyampaian pemikiran sederhana yang tertanam dan berkumpul di kepala dan hati saya. Dengan diksi dan ungkapan yang masih dibilang amatir. Jadi mohon maklum :)--masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nyanyian Pasar

3 Desember 2013   12:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:23 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seharusnya aku terbiasa dengan rasa ini. Dulu waktu aku kecil, aku suka mencari kiloan plastik yang aku tukar dengan uang. Untuk emak, makan, dan sekolah. Aku tidak tamat, hanya kelas tiga. Tapi, aku bisa berhitung kalau lima belas ribu di bagi dua hasilnya tujuh ribu lima ratus.

Di sekolahku di ajarkan bernyanyi pula. Ibu guru yang selalu tersenyum itu, menyuruhku menghapalkan sebait-sebait lagu. Yang harus aku dan teman-temanku bernyanyi keras-keras. Awalnya, aku tidak tahu manfaatnya mengapa harus bernyanyi keras-keras. Saat ini aku tahu, bernyanyi keras untuk menyamarkan nyanyian dalam perut. Yang berisi keroncongan.

Istiku sudah pergi, aku menatapnya dari kejauhan. Tubuhnya di ombang ambing orang yang lalu lalang, lalu tenggelam di dalamnya. Hilang. Nyanyian lapak berganti tidak lagi kekasih gelap. Aku bernyanyi saja lah, walau tadi aku tidak bisa bernyanyi. Dengan bernyanyi aku bisa menjadi lupa dengan nyanyian perutku.

Kata Emakku, orang lapar bisa hilap. Tapi menurutku, orang lapar bisa bernyanyi, sama halnya orang kenyang bisa mendengkur. Orang kaya bisa memaki orang miskin. Orang miskin menyumpah orang kaya. Orang jahat menindas. Orang miskin merana. Sedangkan aku mengharapkan makanan. Aku bernyanyi saja lah. Bersama suara artis yang gratis ku dengar. Nikmati kegaduhan ini. Memang pasar ini sudah gaduh.

-***-

Hampir sore. Daganganku tidak berubah, hanya kurang satu. Uangnya dua ribu lima ratus. Sisa uang yang di ambil istriku tadi.

“Copet…copet…!” pasar ini memang gaduh. Tambah teriak-teriakkan ‘copet-copet’ tambah gaduh. Dua orang, tiga, empat, lima dan bertambah lagi. Di setiap tikungan pasar yang berlari bertambah. Seperti iring-iringan maraton yang di resmikan pak lurah. Waktu tujuh belasan kemarin. Yang pemenangnya mendapatkan sepeda. Aku hanya dapat kaus yang sekarang ku pakai. Baunya sudah tidak enak. Apalagi di ketiaknya.

“Awas!” para pelari itu berhadapan denganku. Di sini aku masih jongkok, daganganku di gelar begitu saja. Beralas terpal yang kemarin roboh. Wajah-wajah mereka dipenuhi emosi, sekilas terbit keinginan makan orang. Ooops, aku mulai tidak waras karena lapar.

“Bukk!” sang pecopet di depanku. Menabrak, membuatku tersungkur karena sejak dia mau lewat dengan berlari, aku bangun dari jongkok. Aku tidak ada tenaga. Dia berlari sekuat tenaga. Dengan sekuat tenaga berarti dia tidak sedang lapar. Perutnya tidak bernyanyi. Dia lewat tanpa permisi. Menyisakan sebal dalam diriku.

Aku masih tersungkur waktu sepuluh orang atau lebih mengejar sang ‘copet’. Ada yang meloncati daganganku, menginjaknya, menendangnya, dan tulisan ‘lima belas ribu dapat dua’ melayang tersungkur sama sepertiku. Namun, nasibnya sial. Tulisan yang aku pelajari di kelas tiga itu terus terinjak-injak. Di tendang oleh orang terakhir. Dan berakhir di genangan air kotor. Ihhh, aku bergidik.

Orang yang di teriaki ‘copet’ itu berlari terus. Hilang diantara muka-muka lapar sepertiku. Melongo. Nyanyian masih membahana. Merobek sore. Bertambah gaduh. Aku merana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun