Gaduh di kepalaku. Ribuan suara menyerbu saat aku sampai di pasar. Jejeran lapak di sini, tidak teratur. Ku gelar terpal yang kemarin roboh tertiup angin. Pemiliknya mengganti yang baru. Tidak apa-apa walau barang bekas yang penting gratis. Sampai di pasar aku bernyanyi, di selingi siulan.Karena mulai saat ini ku suka bernyanyi.
Sambil mencuri dengar dari musik yang bergentayangan di pasar. Bayangkanlah, dalam satu area penjualan kaset dan VCD yang di lindungi terpal tambalan, di sana akan terdengar lagu berbagai aliran musik. Di kios bang Manjun, lagunya Peter pan. Bang Ridwan yang terpalnya baru roboh kemarin, sekarang menyetel lagu dangdut. Di sebelah sana, tempat penjualan kaset yang lebih bagus karena pemiliknya Engkoh Liem, memperdengarkan lagu barat yang aku tidak tahu artinya apa. Belum lagi lapak-lapak yang tidak ku kenal pemiliknya, membawa radio dengan lagu berbeda pula. Dengan volume besar, radio mereka bernyanyi bersama. Bisa kau bayangkan?
Tadinya aku membenci menyanyi, membuat lidahku kering. Nafasku bisa terengah-engah. Tapi lama-lama aku mulai menikmatinya. Dengan bernyanyi aku dapat bergurau dengan kehidupan. Gelap, sepi, gembira dan sedih, kau tetap bisa bernyanyi. Dan biasanya dapat melupakan laparku, sementara. Hanya sementara.
Saat ku langkahkan kakiku ke sini, di sebuah pasar yang dekat dengan rumah kontrakanku, ada jutaan suara beradu dalam kepala untuk aku dengar. Sambil menunggu celana-celana yang ku tunggui, di jemur panas. Tidak ada yang laku. Bisa apa aku. Teriak-teriak?
“Ayo, bu, pak, celananya lima belas ribu dua, ayo-ayo!” aku sudah berteriak, tetap saja tidak ada yang tertukar dengan rupiah. Aku berdiri di sini tidak sendiri, di sana mang Sarip yang baru pulang dari Bogor, juga berteriak-teriak. Seperti memaki. Siapa saja. Membolongkan telinga yang lewat. Semakin teriakanmu kencang, kemungkinan besar daganganmu dilirik pengunjung pasar. Entah mau beli atau hanya sekedar melirik sebal. Tapi tidak apalah buat kami, yang terpenting sudah dapat membuat pengunjung melirik.
Pasar ini memang sudah gaduh. Di tambah suaraku jadi tambah gaduh. Musik terus terniang-niang. Jadi bingung, mau nyanyi lagu apa. Dangdut, pop, karawitan apa campur sari. Bisaku ya nyanyi yang lagi ngetren, kekasih gelap.
Ah! aku lelah bernyanyi. Sekarang bergantian yang bernyanyi perutku. Lagunya keroncongan. Padahal aku paling benci keroncongan. Tidak nyaman. Perutku aktif sekali, terus bernyanyi. Sudah waktunya untuk bernyanyi barang kali.
-***-
“Ayo bayar-bayar, uang keamanan!” orang itu mengadahkan tangan. Teriak-teriak, meminta-minta. Mungkin perutnya sedang bernyanyi. Seperti perutku. Wah, asik sekali hanya dengan berteriak-teriak, lima ribu sampai tujuh ribu di tangannya yang mengadah.
“Cepat bayar!” kini dia teriak di telingaku. Pasar ini memang gaduh, tambah suaranya tambah gaduh. Dan perutku masih saja bernyanyi.
“Belom laku, bang!” ku mengadahkan kepala. Jualanku memang beralas terpal roboh yang ku jadikan tikar. Jadi, aku jongkok sambil berteriak. Dia –di hadapanku- memang seram, wajahnya garang, kulitnya hitam, dan perutnya besar. Mungkin karena dia cepat menjawab nyanyian perutnya dengan berteriak-teriak “Ayo bayar-bayar!” dan semua rupiah terkumpul dalam beberapa menit.