Mie instan merupakan makanan cepat saji yang akrab bagi masyarakat Indonesia. Dijual dengan hrga berkisar Rp 2.500 per bungkusnya untuk varian biasa, mie instan kerap sekali diidentikkan dengan makanan rakyat menengah ke bawah. Salah satu yang digadang-gadang menjadi konsumen tetap mie instan adalah anak kos. Keterbatasan dana, peralatan dan kemampuan memasak biasanya menjadi daftar tiga besar seorang anak kos lebih sering menyantap mie instan dibandingkan nasi sayur dan telur.
Sebagai penghuni kos-kosan selama hampir enam tahun, saya aku hal tersebut. Setidaknya dalam sebulan jika keuangan lancar, saya bisa mengkonsumsi tiga bungkus mie instan. Berbeda jika kondisi keuangan sedang seret, mie instan dengan berbagai varian bisa menjadi makanan sehari-hari. Makanan berpengawet dan sulit dicerna ini terasa lebih sehat dibandingkan harus menahan lapar hingga uang kiriman orangtua atau tanggal gajian datang.
Belakang saya teringat sebuah kejadian dengan dua orang teman saya ketika mengkonsumsi mie instan di rumah. Sayangnya, salah satu dari dua orang tersebut kini sudah tidak ada lagi di dunia ini. Singkat cerita saat itu, saya yang masih anak-anak pulang ke rumah dengan seorang teman saya. Karena merasa lapar, kami akhirnya memutuskan untuk memasak satu bungkus mie instan. Entah kenapa, seorang teman yang saya ajak makan makanan tidak sehat itu merasa senang dan sangat bersemangat.
Ketika memasak mie instan, dia tampak keheranan karena saya menggunakan kompor. Dia menilainya itu sebagai sebuah pemborosan. Teman gadis saya itu lantas bercerita, di rumahnya untuk bisa menyantap mie instan tidak pernah memasak dengan kompor karena dinilai boros. Terutama saat itu, gas elpiji melon masih menjadi barang bantuan yang diberikan pemerintah untuk masyarakat kurang mampu. Sebelum menggunakan gas elpiji berukuran tiga kilogram tersebut, masyarakat di desa ku lebih sering menggunakan tungku dari kayu atau serbuk kayu.
Tidak ingin boros dalam menggunakan kayu bakar atau gas, biasanya teman saya ini merendam mie instan dalam mangkuk yang berisi air panas. Kemudian ditutup dengan piring dan dibiarkan selama beberapa menit hingga mie menjadi lunak dan matang. Cara memasak mie instan tersebut mirip seperti cara memasak mie gelas. Hanya saja dengan media mangkok dan jumlah mie yang lebih banyak. Kebetulan, keluarga kami memiliki warung dan orangtuaku mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk membeli gas 12 kg untuk kebutuhan masak.
Berbeda cerita dengan rekan ku yang satunya, karena kini ia sudah tenang di sisi Tuhan, mari sejenak kita kirimkan doa untuknya. Aku mengajak rekanku ini bermain di rumah, karena sangat senang jika ada yang singgah di kediamanku. Kami memutuskan untuk memasak mie instan, tapi sayang, dua bungkus sarimi rebus yang sudah matang itu jatuh ke lantai. Tanpa pikir panjang, aku pun langsung mengambil dua bungkus lainnya untuk dimsak ulang.
Sekilas, dua cerita tersebut hanyalah perjalanan masa kanak-kanak yang sepintas lalu saja. Namun, setelah menginjak dewasa dan memahami makna kata kesenjangan. Aku jadi memandang perjalanan memasak mie instan itu sebagai salah satu bentuk kesenjangan di antara permainan para anak-anak SD. Mulai dari cara perbedaan kami dalam mengolah, hingga bagaimana dengan entengnya aku mengambil dua bungkus mie instan baru untuk dimasak ulang. Rupanya, dalam sebungkus mie instan saja muncul kesenjangan dalam permainan anak-anak. Jika mie instan adalah makanan rakyat jelata, lantas kesenjangan macam apa yang terjadi antara aku dan temanku?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H