Adelyn masih termenung dalam bayang-bayang sendu menggenggam sepucuk surat. Surat yang habis dibacanya secara peralahan menciptakan air mata yang tersungkur tanpa sempat mengalir pada muara.
Langit tampak cerah dan burung-burung coba bernyanyi semerdu mungkin, Adelyn tetap tak menggubris. Ia tetap pandangi danau dari kejauhan, sesekali Ia tersenyum pada langit yang tak lelah menampung segelintir pertanyaan akan dukanya.
Mengapa?
Mengapa?
Dan mengapa?
Pada bangku tua yang senantiasa menopang berat tubuhnya sejak setahun terakhir, Adelyn mencari-cari suara sang kekasih memanggil namanya berulang-kali dari dalam hutan.
Adelyn berlari dengan ditemani bayang-bayang yang menuntunnya hingga memasuki tengah hutan. Pepohonan menyambutnya dengan beramai-ramai, Ia mencoba melihat ke arah sekelilingnya dan tak menemukan suara itu.
Sebuah goresan tertulis dua nama terlihat samar-samar pada salah satu pohon cemara. Memaksanya mengingat lembaran lama yang tadinya sudah terkubur bersama duka.
Adelyn tersandar pada pohon cemara yang menjadi saksi akan janji setianya. Bersama air mata yang belum sempat kering, Ia mulai berjalan perlahan tak tentu arah.
Dalam hening, kembali bayang-bayang itu mencoba menggenggamnya, menuntun Adelyn pada tempat semula; bangku tua.
Senja kali ini sangat indah, Adelyn menikmatinya sembari tersenyum riang. Sepucuk surat yang menunggunya sejak lama, akhirnya menemaninya dalam pelukan hangat.
Dan, rembulanpun turut berduka tanpa banyak bicara.Â
Ia tatap wajahnya
Ia peluk erat bersama cahaya
Ia cumbu dalam hening
Adelyn tetap tak menggubris, tak berkurang sedikitpun lukanya. Ia akhirnya tertidur bersama duka yang akan terbawa hingga akhir nafasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H