Aku tertidur dalam remang cahaya,
Mataku terpejam mengabaikan rona,
Sunyi semilir membisik pendengaranku,
Kulepas semua tali yang melilit penginderaanku,
Kucoba tenangkan diri,
Meyakinkan hati akan pengharapan yang membumbung tinggi,
Namun hati dan nadi tak beranjak pulih,
Rintih sesak itu masih bernyayi teramat fasih,
Aku diam saja, membiarkan kecamuk itu berkobar di dalam sukma,
Kudengar langkah kaki dari belakangku,
Runut dan kokoh mengiring debar jantungku,
Mengarah padaku yang masih terpaku,
Langkah itu terhenti tepat di belakangku,
Kudengar nafasnya tak jauh dari telinga kiriku,
Degub jantungnya mengiring diriku,
Ia semakin dekat padaku,
Hembusan nafasnya mengenai tengkukku,
Merasuk dalam dan menyebar hangat ke sekujur nadiku,
Dia mendekapku, membiarkan segenap diriku pasrah melepas belenggu,
Kubuka segala luka yang tertutup oleh kain palsu pada diriku,
Kubiarkan ia mengenal segala kerapuhanku,
Membiarkan ia mengenal tiap inci pada semua itu,
Tak kusangka ia tak berlalu,
Akupun kian tenggelam dalam dekapan itu,
Badai masa lalu menghampiri pikiranku,
Tangan kanannya menggengam tanganku, meyakinkanku,
Dia menghalau dan menghancurkan semua itu,
Dia mencoba semakin dalam menggapaiku,
Kurasakan ia merasuk ke dalam jiwa dan pikiranku,
Pagutan lembutnya menghubungkan lagi bagian yang terputus itu,
Kekuatan jiwanya menyelimuti segenap diriku,
Aku merasa kembali penuh, kurasa kembali hidup,
Namun siapa dia ?
Kubuka mataku perlahan,
Kehidupan nampak begitu terang di depan,
Dia masih di belakangku menatap diriku dengan rona mata yang begitu madu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H