Mohon tunggu...
Banyu
Banyu Mohon Tunggu... Seniman - Eksplorasi Rasa

Writing for happy ending

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bakmi Jl.Solo

26 Desember 2020   00:13 Diperbarui: 26 Desember 2020   01:03 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini aku hanya ingin melamun saja, sambil menatap bulan bintang di langit sana yang nampak ceria semarakkan sunyi malam. Mereka sibuk berkelip dengan cahayanya, sungguh berbahagia. Mereka tertawa gembira disana sedang diri ini hanya jadi penonton saja. Entah mengapa ada bulir hangat keluar dari mataku. Pandangan jadi kabur karenanya. Kepalaku lelah menengadah, kini kubenamkan pada lutut yang kudekap

Sunyi tak kudengar sebab angin sepoi mengusik pepohonanan. Malam belum ada setengahnya, tetapi pikiran ini sudah menjelajah, mengungkit masa lalu. Aku benci ini, namun semakin kubenci mereka kian mengusik dalam pikiran ini. Air mata mencari jalan, isakku perlahan hanya ditertawakan oleh kelelawar yang sibuk memanen jambu di pekarangan depan.

Setelah gejolak itu mereda, perlahan kewarasanku datang. Ku bangkit, melihat sejenak pada bulan bintang yang masih riang merayakan malam. Akupun turun ke lantai bawah menuju kamarku. Rumah kost jadi begitu sepi diakhir pekan. Aku sedikit terhuyung, tubuhku lemas karena mengabaikan makan. Akupun masuk dalam kamar, menuju wastafel membasuh muka. Mataku nampak sayu, garis hitam menggaris di bawahnya. Namun aku tak peduli, segera kusahut kunci motor serta hoodie favoritku dan pergi keluar.

Motor kupacu, menuju warung bakmi Jawa di jalan Jogja-Solo dekat Bandara Adisucipto. Saat tiba disana sepertinya tinggal sedikit porsi bakmi yang tersedia dan tanpa diminta Bapak penjualnya sudah tahu menu yang biasa kupesan. Aku duduk di meja depan tepat di sisi jalan membelakangi sang penjual. Aku sering merenung saat makan disini sembari melihat hilir mudik kendaraan di jalanan sana.

Tak berselang lama menu pesanan datang. Akupun segera menyantapnya perlahan, mengabaikan sekitar. Terdengar suara vespa menghentikan lajunya. Akan tetapi aku tak peduli. Kudengar suara seseorang yang sedang memesan makanan. Dan ternyata ia memilih duduk disebelahku, yang menghadap tepat ke jalan raya. Aku tak bergeming dan melanjutkan makanku. Namun entah mengapa aku merasa sedang diamati.

"Sorry ganggu makannya" katanya

Aku hanya tersenyum kecil sembari melirik ke arahnya. Kukira orang ini berusia sekitar 30 tahunan dengan potongan pendek dengan wajah ramah bersahaja.

"Aku selalu duduk disini kalau makan di tempat ini, tiap cuti ke Jogja pasti kesini"

Aku melihatnya, ternyata dia berbicara pada jalan dan kendaraan kendaraan yang melaju kencang di depan. Tak lama datanglah pesanannya. Sesaat ia sibuk dengan mie nya.

"Kamu masih kuliah ?"

"Ia Mas, semester akhir"

"Dimana ?"

"Bulaksumur" jawabku

"Oo... jurusan apa ?"

"Geografi"

"wah tetangga ternyata, aku dulu di Geologi"

"Ohhh...."

Jujur aku sebenarnya tak begitu berminat berbicara, namun bagaimana lagi. Ia masih memandang ke depan, dan terus berbicara tentang dirinya saat dulu kuliah. Aku jadi sibuk mendengarkan ceritanya, dari pada menyantap bakmi di depanku. Semakin lama, ia membawa arah ceritanya tentang seseorang. Sahabatnya saat masih kuliah. Ia telah pergi selamanya karena kecelakaan saat mereka sedang liburan di Bandung sehabis pendadaran. Namun entah mengapa saat ia menceritakan seseorang tersebut, seolah yang diceritakan itu bukanlah sahabatnya. Aku ragu mengasumsikannya.

"Dia suka makan disini, akupun tahu tempat ini darinya" nada suaranya tertahan.

Kucoba melihat wajahnya, matanya tampak mengharu namun ia tetap menyunggingkan senyum. Pandangannya menerawang, seperti mengingat sesuatu.

"Siapa namanya ?" tanyaku

Kemudian ia mengalihkan pandangannya dan menatap diriku

"Sekilas dia mirip sekali denganmu" katanya

Ia memperlihatkan foto mereka dalam ponselnya. Foto itu berbicara segalanya, aku jadi mengerti apa maksudnya. Ia tersenyum namun kulihat kesedihan terlukis jelas di wajahnya. Ia kemudian bergegas menandaskan sisa bakmi yang masih tersisa di piringnya. Nampak buru-buru, ingin segera lari dari perkataan yang barusan ia ucapkan. Ia beranjak berdiri, memandangku sebentar kemudian mengarahkannya lagi ke jalan, kulihat ada selaput kaca tipis di matanya.

"Tanpamu kala itu, mungkin aku sudang mengakhiri hidup. Kini hidupku adalah hutang yang harus kubayarkan padamu. Meski sebenarnya aku sudah tak sanggup"

Aku diam terpaku mencoba memahami ucapan itu. Tak kutahu ternyata ia berlalu. Vespanya telah melaju, menjauh menyusur kelamnya jalan malam. Sesaat aku hanya termangu, tak mengerti apa yang baru saja terjadi. Kuarahkan pandangan ke meja itu tadi, dua piring bakmi. Yang satu telah habis, satunya masih separu. Itulah punyaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun