Mohon tunggu...
Yuki
Yuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

simple life, big dreams

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Maaf, Adik Ber Agama Apa?

21 Februari 2012   07:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:23 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau belaka, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengangumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu”.

(Q.S. Al Hadiid (57) : 20)

 

 

Begitulah, sebagaimana kutipan terjemahan ayat di atas, aku pun pernah terpesona oleh kepalsuan hidup, lalai akan titah Tuhan dan tenggelam dalam derai tawa tak tertahan. Ah, kiranya Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Ia berkuasa atas segala sesuatu. Jika Ia menitahkan “Kun”, sahara yang kering kerontang pun akan menjelma sumber air, menganak sungai. Aku pun mengalir mengikuti arus sungai lalu ke muara hingga akhirnya menyatu dengan laut. Melucuti semua lusuh dan menguburnya di sana.

 

Serupa itulah, aku tak mau mengubur di darat. Mungkin sebagian ada yang bertanya, “Memang apa bedanya mengubur di laut dan di darat?.” Tentu saja beda, mengubur di laut serupa kematian tanpa nisan. Kau tahu maksudku kan? Aku hanya ingin tak seorang pun menemukan jejakku saat ditikam kelam, saat mata ini terpukau oleh kemilau kehidupan. Cukup aku dan Tuhan saja yang tahu, tentu saja beserta malaikat yang merekam segala gerak lakuku. Biarlah putih kuning kamboja yang menjadi tanda bahwa segala rekaman peristiwa masih lengkap dalam piringan semesta dan tak ada yang menjamin Ia akan menghapusnya. Aku telah berusaha, semoga tak kan pernah letih berusaha dan aku yakin Ia Maha Bijaksana.

 

Yang kuceritakan itu adalah pemikiranku dulu, lain sekarang. Setelah berpikir berulang-ulang, napak tilas jejak masa silam, merekonstruksi semua kenangan yang lantak dan hampir tenggelam, hingga melarutkan diri dalam lembar demi lembar kitab sejarah hidupku, pemikiranku pun berubah. Aku pun mulai belajar mengabadikan setiap rangkaian peristiwa yang ku alami agar kelak menjadi nisan bagiku ketika malaikat maut menjemput. Tak peduli di darat atau di laut.

Maka, inilah sebagaian dari hasil napak tilas dan rekonstruksi itu.

Malang kota indah, sejuk, nyaman. Begitulah orang-orang menggambarkan keadaan kotaku dalam lirik lagu kebanggaan. Entah benar atau tidak, karena aku belum pernah merasakan senyum ramah dan pelukan nyaman kota ini. Berontak. Aku pun lebih memilih melarikan diri ke kota seberang, tak terlalu jauh memang. Sebenarnya secara geografis kota ini lebih menyedihkan (setidaknya menurutku begitu), hingga akupun terbiasa menguras air mata di hari-hari ku dan menahan ngilu hatiku. Namun dari sanalah aku mengeja garis takdirku dan mengais hikmah yang tercecer di sepanjang jalan dari rumah, kos, pabrik, kampus, mall, perpustakaan dan toko buku. Aku terasing di tengah keramaian. Rasanya seperti pengembara di rimba belantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun