Mohon tunggu...
Yuki
Yuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

simple life, big dreams

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Maaf, Adik Ber Agama Apa?

21 Februari 2012   07:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:23 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Hingga pada minggu pagi yang cerah, sekitar delapan tahun silam, di bawah semburat jingga di timur rekah, dalam balutan lelah aku melangkahkan kaki yang terasa ber ton-ton beratnya. Akumulasi dari kilo demi kilo lelah yang tak sempat menemui muara rehat. Ah, ingin sekali rasanya pergi ke telaga lalu menenggelamkan semua bebanku di sana. Akan tetapi kehidupan selalu mengajariku untuk memaksakan diri menembus setiap batas potensi.

Seperti biasa, karena memang kemana-mana dengan menggunakan jasa kendaraan umum, pagi itu pun aku harus bersabar menunggu sopir menjalankan angkotnya. Sebenarnya perjalanan itu sangat tidak efektif dan tidak efisien. Tapi apa hendak dikata. Saat itu, di dalam angkot aku duduk berhadapan dengan seorang Ibu yang berpenampilan sangat rapi, rambut pendek, rok sepan hitam dipadukan dengan baju berwarna gelap, sepatu high hill, dan berkacamata, sekilas tampak laiknya seorang guru. Dia mendekap beberapa buku sehingga semakin meyakinkanku bahwa ia memang seorang guru.

Entah bagaimana awalnya, kami terlibat dalam perbincangan yang cukup seru, mulai dari topik kecil, seperti tujuan perjalanan kami masing-masing, rumah kami, hingga ke masalah-masalah yang lebih besar dan serius yang sebenarnya bukanlah kapasitas kami untuk membicarakannya seperti isu-isu politik khususnya korupsi di negeri ini. Dan sebagaimana biasa, sudah aku tebak, ketika membicarakan masalah yang memalukan itu akhirnya kami membahas krisis ekonomi yang melanda Indonesia di tahun 1997/1998 yang menjadi titik tolak berbagai krisis di bidang lain seperti krisis moral, krisis kepercayaan dan lain sebagainya.

 

Pembicaraan itu terasa semakin seru, dengan gaya sok bijaknya Ibu tersebut mengutip ayat-ayat injil sebagai peringatan betapa krisis yang melanda negeri ini adalah peringatan dari Tuhan. Dengan sedikit jengkel karena gaya bicaranya yang  “sok” serta menganggap bahwa aku seiman dengan dia (setidaknya aku merasa begitu), aku pun menjawab, “Di  dalam Al qur’an juga sudah dijelaskan kok Bu….” Kalimatku yang terdengar gagah itu terputus dan patah rasanya lidah ini. Aku jengkel sekali. Bagaimana tidak, dangkalnya pemahamanku terhadap Al Quran membuatku tak mampu mengajukan hujjah pada saat Ibu itu berkata  “Sebenarnya dalam kitab kita sudah dijelaskan,,,,,bla…bla…bla…”, lengkap dengan kutipan ayat-ayatnya.

 

Kata “kitab kita” yang ternyata injil itu sangat membuatku geram karena aku merasa bahwa ibu yang duduk dihadapanku itu menganggap aku seiman dengan dia. Dan aku lebih geram lagi ketika Ibu yang ternyata dari tadi memegang injil itu bertanya, “Maaf, Adik beragama apa?.”

Pertanyaan sederhana menyangkut hal yang sangat fundamental meskipun diajukan dengan cara yang sopan dan hati-hati terasa sangat frontal, rasanya menohok tepat di ulu hatiku, melampaui semua batas pemikiranku dan entah bagaimana tiba-tiba mengubah semua pemahamanku. Ya,,,,,mengubah pemahamanku tentang jilbab, hakikat tentang mengapa Allah mensyariatkan jilbab bagi muslimah. 

 

Identitas…. Iya… Identitas…  Selain untuk melindungi aurat wanita, jilbab merupakan identitas seorang muslimah. Jika seorang wanita memakai jilbab, tanpa memberitahukan agamanya  pun orang lain akan tahu bahwa dia adalah seorang muslimah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun