Selama ini memang belum ada yang bertanya tentang agamaku. Tentu saja karena aku tinggal di lingkungan dimana orang-orang telah mengenal aku dengan baik, mereka tahu kalau aku shalat, aku juga menjalankan puasa dan ritual lain. Kalaupun aku pernah mendapat pertanyaan tentang apa agamaku, paling hanya pada saat mengisi formulir. Itu saja… selebihnya belum pernah.
Astaghfirullah….
Rasa geram dan jengkelku terhadap Ibu itu tiba-tiba pecah berganti buncah, marah, menyesal, sedih, malu dan… entahlah… berbagai rasa bercampur aduk jadi satu…ragam rasa itu tentu tidak lagi tertuju pada ibu itu, tapi pada diriku sendiri.
Ya… Aku malu… Bagaimana mungkin aku mengaku sebagai seorang muslimah jika aku belum memakai jilbab. Aku marah pada diriku sendiri kenapa tidak memakai jilbab sehingga orang lain tidak perlu lagi bertanya tentang apa agamaku. Aku juga malu dengan diriku sendiri, memang apa yang ingin aku tunjukkan kepada orang lain dari bagian tubuhku yang tak selayaknya boleh dilihat orang lain kecuali muhrim. Bukankan Allah Yang Maha Menciptakan telah mensyariatkan untuk menutupinya? Lalu apa hakku memamerkan rambut dan tangan yang sejatinya bukan milikku ini? Dan aku menyesal telah mengabaikan syariatNya. Syariat yang sebenarnya Dia cipatakan untuk kebaikan diriku sendiri. Syariat yang Dia tetapkan sebagai wujud kasih sayang Nya kepada hambaNya yang bernama wanita. Ya… aku terlalu arogan dan berani menentang ketetapanNya dan menantang panasnya api neraka.
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami akan termasuk orang-orang yang merugi”
(Q.S. Al A’raf (7) : 23)
*********