GENDER DAN KESETARAAN GENDER DALAM PANDANGAN ISLAM
Kesetaraan gender dalam agama Islam telah ditetapkan oleh Allah dalam Al Qur’an dan telah disyiarkan oleh Nabi Muhammad SAW lebih dari 14 abad yang silam. Banyak sekali ayat yang menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama sebagai khalifah di muka bumi ini. Seperti dalam Al Qur’an surah Ali Imran (3): 195, Al Nisa’ (4) : 124, Al Nahl (16):97, Gafir (40):40 dan masih banyak ayat-ayat lain yang bisa dijadikan rujukan.
Islam merupakan rahmat bagi semesta alam, oleh karena itulah salah satu tugas yang diemban oleh Rasulullah adalah mengangkat harkat dan martabat kaum wanita serta mengubah budaya patriarkhi (cenderung mengutamakan laki-laki lebih dari perempuan).
Nabi Muhammad mengubah wacana dunia arab tentang wanita dan melakukan perombakan tatanan kehidupan sosial sehingga wanita dilibatkan dalam hampir semua lini kehidupan. Sebagai contoh Nabi Muhammad sering menggendong putri beliau (Fatimah Azzahra) secara demonstratif di depan umum. Suatu hal yang dianggap tabu oleh masyarakat Arab pada saat itu. Perlu kita ingat bahwa masyarakat Arab pada masa awal kenabian Nabi Muhammad adalah masyarakat jahiliyah yang memarjinalkan dan menindas kaum wanita. Setiap bayi wanita yang lahir sudah dipastikan terancam nyawanya. Kondisi masyarakat jahiliyah saat itu dikabarkan kepada kita melalui Al Qur’an surah al Nahl 58-59.
“Ketika diberitahukan kepada seseorang diantara mereka perihal kelahiran anak perempuan, wajahnya cemberut menahan sedih. Dia bersembunyi dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang diterimanya, boleh jadi ia akan memeliharanya dengan penuh hina atau menguburnya (hidup-hidup) ke dalam tanah”.
Setelah Rasulullah melakukan perombakan tatanan sosial, wanita diposisikan sebagai makluk mulia bahkan disebutkan sebanyak tiga kali sebagai orang yang harus dihormati sebelum menghormati seorang ayah. Dalam ranah publik, Peran wanita pada masa Rasulullah terlihat dalam kondisi peperangan, ‘Aisyah, Ummu Sulaim, Fatimah Azzahra ikut bekerja keras membagikan makanan, minuman dan obat-obatan di tengah hujan panah, tikaman tombak dan sabetan pedang, selain itu para wanita juga aktif menuntut ilmu serta aktif terlibat dalam aktivitas sosial.
DISKURSUS PERAN WANITA DALAM RANAH PUBLIK
Diskursus mengenai peran wanita dalam ranah publik menurut perspektif Islam menjadi perdebatan yang krusial antara pihak yang menentang dan pihak yang menyetujui. Permasalahannya adalah perbedaan tafsir terhadap dua dalil, yang pertama adalah hadis lan yufliha qaum waalau amarahum imra’ah (Tidak akan jaya suatu kaum/bangsa yang menyerahkan urusannya kepada wanita) dan yang kedua adalah Q.S An Nisa:34.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
Bisakah ayat ini (Q.S An Nisa:34) dijadikan pedoman untuk membatasi ruang gerak wanita dalam ranah publik? Pada umumnya ayat ini dijadikan sebagai penghalang bagi wanita untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat. Padahal kata An Nisa dalam ayat ini berarti wanita yang sudah dikenal (istri) karena menggunakan Alif Lam. Sehingga sebenarnya ayat ini berbicara masalah rumah tangga, bahwasanya seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi wanita yang sudah dikenalnya (istri).
Sedangkan pihak yang menggunakan dalil lan yufliha qaum waalau amarahum imra’ah juga harus mempertimbangkan sabda Rasulullan SAW berikut ini.
“Apabila amanat telah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya. Ditanya kepada Beliau, “Bagaimana hal itu dapat sia-sia?” Dijelaskan oleh Rasulullah, “Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya”.