Mohon tunggu...
Budi Santoso
Budi Santoso Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Agar Tak Gagal Paham, Ini Penjelasan Putusan MK Soal LGBT

14 Januari 2018   15:25 Diperbarui: 14 Januari 2018   15:32 1196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar olah pribadi

Hingga saat ini, tampaknya banyak pihak yang salah paham atas putusan MK mengenai penolakannya atas permohonan uji materi pasal 284, pasal 285, dan pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Hal itu, misalnya, terlihat dari munculnya surat terbuka kepada Presiden Jokowi di media sosial facebook atas putusan tersebut.

Surat terbuka dari Ahmad Yani bin Abdul Hamid itu meminta Presiden Jokowi untuk menentang putusan tersebut. Karena menurutnya, MK telah melegalkan perbuatan zina dan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).

Bila diamati ternyata banyak substansi surat terbuka tersebut yang tampaknya salah paham atas putusan MK di atas.

Dalam putusan bernomor 46/PUU-XIV/2016 tersebut, MK tidak pernah melegalkan perbuatan zina dan LGBT. Namun, dalam keputusannya itu, MK menolak dan tidak dapat memutuskan perbuatan LGBT menjadi tindakan pidana karena memang bukan kewenangan MK untuk membuat Undang-Undang.

Hal itu juga dikuatkan dengan pendapat mantan Ketua MK, Mahfud MD. Menurutnya, sebagai lembaga yudikatif, MK tak memiliki wewenang untuk membuat norma hukum baru.

Melalui akun twitternya, berikut penjelasan Mahfud MD,

"Yang kurang paham, menuding MK membuat vonis membolehkan zina dan LGBT. Yang benar MK hanya menolak memberi perluasan tafsir atas yang ada di KUHP, bukan membolehkan atau melarang. MK memang tak boleh membuat norma."

Dalam pandangan norma kita, LGBT memang perbuatan yang asusila. Itu tidak sesuai dengan ketentuan agama apapun. Namun, hal tersebut sebenarnya merupakan perbuatan di ranah personal dari masing-masing individu dan keluarga yang bersangkutan.

Negara tidak bisa mengkriminalisasi perbuatan tersebut karena memang tidak masuk dalam delik pidana.

Pembuat surat terbuka itu terlihat tak memahami substansi putusan MK itu sama sekali. Karenanya akhirnya surat terbuka itu menjadi bagian dari pembiasan informasi di masyarakat.

Parahnya itu disertai dengan fitnah terhadap pemerintahan Jokowi di media sosial. Tentunya, hal tersebut bisa menimbulkan kekeruhan kondisi sosial di tanah air.  

Untuk itu, kita harua cerdas dalam membaca informasi. Jangan sampai kita tergiring informasi sesat seperti di atas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun