Hingga saat ini, tampaknya banyak pihak yang salah paham atas putusan MK mengenai penolakannya atas permohonan uji materi pasal 284, pasal 285, dan pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hal itu, misalnya, terlihat dari munculnya surat terbuka kepada Presiden Jokowi di media sosial facebook atas putusan tersebut.
Surat terbuka dari Ahmad Yani bin Abdul Hamid itu meminta Presiden Jokowi untuk menentang putusan tersebut. Karena menurutnya, MK telah melegalkan perbuatan zina dan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
Bila diamati ternyata banyak substansi surat terbuka tersebut yang tampaknya salah paham atas putusan MK di atas.
Dalam putusan bernomor 46/PUU-XIV/2016 tersebut, MK tidak pernah melegalkan perbuatan zina dan LGBT. Namun, dalam keputusannya itu, MK menolak dan tidak dapat memutuskan perbuatan LGBT menjadi tindakan pidana karena memang bukan kewenangan MK untuk membuat Undang-Undang.
Hal itu juga dikuatkan dengan pendapat mantan Ketua MK, Mahfud MD. Menurutnya, sebagai lembaga yudikatif, MK tak memiliki wewenang untuk membuat norma hukum baru.
Melalui akun twitternya, berikut penjelasan Mahfud MD,
"Yang kurang paham, menuding MK membuat vonis membolehkan zina dan LGBT. Yang benar MK hanya menolak memberi perluasan tafsir atas yang ada di KUHP, bukan membolehkan atau melarang. MK memang tak boleh membuat norma."
Dalam pandangan norma kita, LGBT memang perbuatan yang asusila. Itu tidak sesuai dengan ketentuan agama apapun. Namun, hal tersebut sebenarnya merupakan perbuatan di ranah personal dari masing-masing individu dan keluarga yang bersangkutan.
Negara tidak bisa mengkriminalisasi perbuatan tersebut karena memang tidak masuk dalam delik pidana.
Pembuat surat terbuka itu terlihat tak memahami substansi putusan MK itu sama sekali. Karenanya akhirnya surat terbuka itu menjadi bagian dari pembiasan informasi di masyarakat.