Pasca disahkannya Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Massa menjadi UU Ormas oleh DPR RI pada Senin (24/10) kemarin, beragam reaksi muncul dari publik. Tak hanya yang terlihat mendukung peraturan tersebut, tetapi juga mereka yang kukuh menolaknya.
Kritik dari berbagai pihak muncul. Salah satunya hadir dari guru besar hukum Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf. Menurut Asep, mekanisme pembubaran ormas tanpa melalui pengadilan lebih dulu merupakan kemunduran demokrasi.
Adanya dinamika dan penolakan dari sebuah pemberlakuan aturan merupakan hal yang biasa dalam negara demokrasi. Kritik merupakan hal yang wajar dan harus disikapi wajar pula oleh negara demokrasi. Ini adalah bagian dari berdemokrasi itu sendiri.
Namun, yang perlu digaris bawahi proses pengesahan peraturan di atas telah memenuhi kaidah demokrasi yang disepakati dalam negara kita. Pemerintah dan DPR bekerja bukan untuk sekelompok orang, Â namun untuk semua lapisan masyarakat. Hadirnya kebijakan untuk mengeluarkan Perppu Ormas yang kemudian menjadi UU Ormas merupakan aspirasi dari masyarakat juga.
Adapun diterbitkannya Perppu Ormas bukan tanpa tujuan. Yaitu untuk memberikan perlindungan pada bentuk negara, dasar negara, dan konstitusi negara dari serangan ideologi lain yang dapat memecah belah bangsa. Perppu Ormas adalah benteng Pemerintah menjaga keutuhan NKRI dari segala bentuk upaya infiltrasi ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Terkait kritik dari Asep di atas, kita harus bisa baca lebih jeli. Bahwa menurutnya mekanisme pembubaran ormas dengan UU Ormas saat ini tanpa melalui pengadilan lebih dulu merupakan kemunduran demokrasi, adalah tidak sepenuhnya tepat. Karena pada dasarnya dalam UU Ormas ini pun pembubaran sebuah organisasi tetap memiliki mekanisme pengadilan. Namun terdapat sedikit perbedaan dengan sebelumnya.
Dalam UU Ormas yang baru ini, pemerintah hanya membalik proses pengadilan tersebut, yang mana pada UU Ormas yang lama, proses pengadilan dilakukan di awal. Sedangkan, pada UU Ormas yang baru, proses pengadilan dilakukan di akhir setelah adanya keputusan pembubaran Ormas oleh pemerintah. Oleh karena itu, keputusan pemerintah tetap dapat dibatalkan oleh lembaga peradilan.
Dengan demikian, sangat tidak tepat bila disebutkan bahwa melalui UU Ormas ini pemerintah akan bertindak otoritarian dan menindas ormas-ormas. Adanya UU Ormas juga bukan bentuk kedzaliman dan kediktatoran pemerintah. Hal itu karena mekanisme kontrol tetap ada melalui peradilan.
Untuk itu, kita sebagai masyarakat perlu memahami usaha pemerintah dalam membentengi negara ini dari paham-paham yang memiliki potensi untuk mengancam kedaulatan bangsa dan negara Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H