Sudah menjadi keniscayaan bahwa alam butuh keseimbangan. Begitu berat beban yang ditanggung alam ini. Setiap aksi pasti ada reaksi. Alam yang telah dianugerahkan kepada kita harus diperlakukan dengan penuh tanggung jawab. Jangankan di akhirat, di dunia saja sudah bisa terasa akibatnya. Apalagi nanti di akhirat semua akan dipertanggungjawabkan. Setiap orang dengan hak, kewajiban dan kewenangannya akan diminta pertanggungjawaban. Siapa berbuat apa? Langsung atau tidak langsung. Apa yang sudah diperbuat? Jawabannya kembali kepada diri kita sendiri. Sudah seperti apa memperlakukan alam?Â
Belajar dari kejadian Gempa di Cianjur, terbukti bahwa kita tidak bisa menolak bencana yang sudah menjadi takdir dari Allah SWT. Sampai saat ini, tidak ada teknologi yang bisa memprediksi terjadinya gempa. Korban nyawa melayang tidak bisa dibandingkan dengan materi dan tidak ada penggantinya. Gempa di Cianjur terjadi di kawasan yang padat penduduk tentunya dengan bangunan permukiman dan pendukung lainnya. Selama ini hunian, maupun bangunan lainnya menjadi tempat berkehidupan dan beraktivitas, tetapi begitu gempa terjadi, bangunan-bangunan tersebut menjadi penyebab yang melukai bahkan merenggut nyawa. Bangunan-bangunan tersebut apalagi dengan konstruksi yang tidak memenuhi standar keamanan gempa berada pada ruang-ruang yang telah diatur dalam tata ruang seperti yang terjadi di Cianjur setidaknya berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) atau bahkan apabila sudah memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) nya.
Ruang (spasial) adalah dimensi yang kita tempati meliputi darat, laut, udara serta yang ada dalam bumi. Teori, aturan, pedoman mengenai ruang sudah lengkap. Tata ruang namanya. Undang-undangnya ada, peraturan pemerintahnya ada, permennya ada, perdanya ada. Lalu bagaimana? Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang bila dianalogikan seperti tulang yang menyusun kerangka tubuh, sedangkan pola ruang adalah daging, urat dan otot yang mempunyai fungsi masing-masing.Â
Terus, hubungannya apa tata ruang dengan bencana? Harus kita pahami bahwa dalam tata ruang ada yang disebut kawasan lindung yang di dalamnya ada kawasan rawan bencana. Bencana di sini adalah bencana alam. Bencana alam meliputi bencana gunungapi, gerakan tanah/longsor, banjir, tsunami, gempa bumi, dan lain-lain.
Hasil perencanaan tata ruang disebut rencana tata ruang. Dalam bencana sendiri ada istilah potensi dan risiko, dua hal yang mirip tapi tak sama. Risiko lebih melihat pada dampak yang mungkin terjadi terutama terhadap kehidupan manusia pada intinya. Kenyataan saat ini, rencana tata ruang wajib berbasis mitigasi bencana.Â
Tidak ada jaminan pada lokasi pada vegetasi yang masih lebat di kawasan hutan tidak terjadi bencana. Sebagai contoh dari bencana tanah longsor yang terjadi di Banten pada lokasi yang relatif masih hijau sekalipun, longsor tetap terjadi karena lapisan pada bidang gelincir yang sudah jenuh air dengan mudah menggerakan tanah mengikuti gravitasi.Â
Begitupula yang terjadi tahun lalu di Palu, tanah begitu mudah berpindah mengangkut semua yang ada di atasnya tanpa terkecuali yang disebut likuefaksi. Bagian tanah dalam yang kita anggap kokoh ternyata begitu masuk air tercampur menjadi lumpur sehingga menjadi lunak dan mengalirkan lapisan tanah di atasnya.Â
Lantas apa yang bisa diperbuat tata ruang? Semua rencana tata ruang saat ini baik tata ruang wilayah nasional (RTRWN), tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) maupun rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota (RTRWK) wajib dievaluasi bagi yang belum mengatur mengenai ruang bencana. Ruang bencana tersebut harus masuk dalam rencana pola ruang yang bukan lagi berupa arsiran atau imajiner, tapi harus benar-benar dijaga sebagai kawasan lindung tanpa peluang untuk dibuka kegiatan apa pun kecuali yang bersifat konservasi.
Pada kasus yang sudah jelas terjadi bencana, jangan sampai dilakukan revitalisasi, tapi mutlak harus relokasi. Jangan pula merelokasi pada kawasan yang rawan bencana, sehingga hanya membuat masalah baru. Perencana/planner harus benar-benar cermat dan bertanggungjawab.
Keselamatan umat manusia adalah tujuan utama dalam mengatur ruang. Yang berhak menentukan ruang adalah semua pihak termasuk masyarakat. Jangan sampai salah perencanaan. Betapa berdosanya bila punya kemampuan dan kewenangan menetapkan suatu kebijakan penataan ruang tapi mengabaikan keselamatan umat manusia.
Pembangunan yang berorientasi ekonomi dengan mengabaikan aspek lingkungan adalah sangat berbahaya. Intinya harus ada keseimbangan antara dimensi ekonomi, dimensi lingkungan serta dimensi sosial sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan.