Mohon tunggu...
Cenfar
Cenfar Mohon Tunggu... -

apa aja lah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Semoga Bermanfaat

20 Februari 2012   16:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:25 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suami saya adalah seorang insinyur. Saya mencintai sifatnya yang
alami, dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul ketika saya
bersender di bahunya yang bidang. Tiga tahun dalam masa kenalan
dan bercumbu, sampai sekarang, dua tahun dalam masa pernikahan,
harus saya akui, saya mulai merasa lelah dengan semua itu.
Alasan saya mencintainya pada waktu dulu, telah berubah menjadi sesuatu yang melelahkan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan
benar- benar sensitif serta berperasaan halus. Sayamerindukan saat-
saat romantis seperti seorang anak kecil yang menginginkan
permen. Dan suami saya bertolak belakang dari saya, rasa
sensitifnya kurang, dan ketidakmampuannya untuk menciptakan
suasana yang romantis di dalam pernikahan kami telah mematahkan harapan saya tentang cinta.
***
Suatu hari, akhirnya saya memutuskan untuk mengatakan keputusan
mahaberat saya
kepadanya. Saya menginginkan perceraian!
"Mengapa?" Dia bertanya dengan terkejut. "Ada orang ketiga?!" Saya menggeleng. "Saya lelah. Terlalu banyak alasan yang tak akan
pernah kamu pahami," jawab saya. Dia terdiam dan termenung
sepanjang malam dengan rokok yang tidak ada putus-putusnya.
Kekecewaan saya semakin bertambah. Seorang pria yang bahkan
tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang saya bisa
harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya seolah dapat membaca alam pikiran saya.
"Apa yang dapat saya lakukan untuk mengubah pikiranmu?"
Seorang bijak pernah berkata, mengubah kepribadian orang lain
sangatlah sulit. Mungkin itu benar. Saya pikir, saya mulai kehilangan
kepercayaan dan kesabaran diri bahwa saya bisa mengubah
pribadinya menjadi seorang yang romantis seperti obsesi saya selama ini. Dan tidak ada cara lain untuk mengakhiri semuanya itu
dengan perceraian!
Di dalam kekecewaan dan putus asa, saya menatap dalam-dalam
matanya dan melontarkan tanya. "Saya punya pertanyaan untukmu.
Jika kamu dapat menemukan jawabannya yang ada di dalam hati
saya, mungkin saya akan berubah pikiran. Seandainya, katakanlah saya menyukai setangkai bunga yang ada di tebing gunung, dan kita
berdua tahu, jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati.
Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?"
Dia berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok." Hati saya
langsung gundah mendengar responnya. Dia seperti laki-laki yang
tidak memiliki hati. Dia meninggalkan saya sendiri, tepekur dengan pertanyaan- pertanyaan saya yang serupa mistis.
Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya melihat
selembar kertas dengan coret-coretan tangannya, di bawah sebuah
gelas kristal kosong, yang bertuliskan:
"Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu. Tapi
izinkan saya untuk menjelaskan alasannya." Sebaris kalimat pertama tadi menghancurkan hati saya. Saya mencoba untuk kuat
melanjutkan membacanya kembali....
"Suatu ketika, saat kamu mengetik di komputer dan tanpa sengaja
telah mengacaukan program di PC, dan akhirnya menangis di depan
monitor karena semua data kamu hilang, maka saat itu pula saya
akan datang membantu kamu. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki program komputer itu, dan
mendapatkan data kamu yang hilang tersebut." Saya menyimak
dengan hati belah.
"Suatu ketika, saat kamu keluar dan lupa membawa kunci rumah,
saat itu saya harus pulang dari kantor untuk sekedar mendobrak
pintu rumah dengan cara menendangnya, supaya kamu bisa masuk dan tidak membiarkanmu menunggu saya pulang kantor berjam-jam
di luar rumah." Kalimat ketiga tadi mulai menggugah saya dalam
haru.
"Suatu ketika, saat kamu jalan-jalan ke luar kota dan nyasar di
tempat baru yang kamu kunjungi itu, maka saat itu saya begitu
panik dan nyaris gila mencarimu. Saat menemukanmu, saya seperti menemukan sebuah permata yang tidak dapat saya gambarkan
nilainya. Saya memelukmu, dan rasa-rasanya tidak ingin melepaskan
kamu saat itu." Sepasang pelupuk mata saya memanas.
"Suatu ketika, saat kamu selalu pegal-pegal setiap 'kedatangan tamu'
pada setiap bulannya, maka saat itu pula atas inisiatif saya sendiri,
saya akan memijat kakimu yang pegal meskipun saya sudah mengantuk dan bahkan tertidur." Bibir saya bergetar.
"Suatu ketika, saat kamu sedang diam dan sendirian di rumah
karena kita belum dikaruniai seorang anak, maka saya akan
meriuhkan suasana 'keterasinganmu' dengan menjaring dan
merangkai cerita supaya kamu tidak kesepian. Saya akan
membanyol supaya kamu ceria di dalam senyum atau tawa lucu, meskipun saat itu saya masih lelah dan penat sehabis pulang kerja
dari kantor." Tubuh saya mulai menggemetar.
"Suatu ketika, saat kamu asyik dan lama menatap monitor
komputer, maka saat itu saya akan menegurmu untuk beristirahat,
dan mengatakan kalau terlalu lama di depan layar monitor tidak
baik untuk kesehatan matamu. Dan sejak saat itu pula, saya berikrar untuk harus menjaga kesehatan mata saya sehingga kelak kita tua
nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan
mencabuti ubanmu. Saya akan memegang tanganmu, menelusuri
pantai, menikmati sinar matahari dan pasir yang indah.
Menceritakan warna-warna bunga kepadamu yang bersinar seperti
wajah cantikmu...." Kerongkongan saya memerih. "Sayang, saya yakin ada banyak orang yang mencintaimu lebih dari
cara saya mencintaimu. Tapi saya tidak akan mengambil bunga di
tebing gunung itu, seperti yang kamu inginkan, kalau toh pada
akhirnya bunga itu akan mati layu...." Airmata saya sudah
menggumpal dan sedikit meruap di pinggir pelupuk mata.
"Saya hanya ingin memberimu cinta, cinta yang tak akan pernah layu meski mungkin cinta itu tidak dapat kamu lihat sebagai sebuah
keindahan. Keindahan seperti bunga. Keindahan seperti harum
melati dan mawar. Tapi demikianlah saya yang apa adanya. Yang
hanya memiliki niat sederhana untuk membahagiakan kamu dengan
cara saya, cara yang mungkin bagi kamu tidak romantis. Ya, tidak
romantis dan begitu menjenuhkan. Tapi saya yakin cinta saya ini akan abadi, dan tidak akan layu seperti keindahan bunga yang
sekejap layu lalu mati." Airmata saya sudah menetes dan jatuh ke
atas kertas tulisannya. Saya berusaha untuk menahan tangis, namun
tidak bisa. Buncah sesal seperti menohok hati saya telak-telak.
Saya memang tak pandai mengartikan cinta yang sejati. Cinta tulus
yang telah diberikan suami saya dengan caranya sendiri. "Sayang, sekarang setelah selesai membaca jawaban saya, kamu
berhak memilih dan menentukan jalan hidup kamu. Tak ada
paksaan. Namun jika kamu dapat menerima cinta cara saya yang
apa adanya, seperti yang telah saya persembahkan kepada kamu
selama ini, tolong bukalah pintu rumah kita. Sekarang, saya sedang
berdiri di sana dengan susu segar dan roti kesukaanmu...." Saya segera membuka pintu, dan melihat wajahnya yang dulu
sangat saya cintai. Matanya tampak merah dan berkaca-kaca, berdiri
dengan sikap tegar sembari memegang nampan berisi segelas susu
segar dan beberapa roti iris dalam piring.
Saya tidak kuat lagi, memeluknya dan merebahkan kepala saya di
bahunya yang bidang sambil menangis

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun