Mohon tunggu...
Cendani MadyaNhingswari
Cendani MadyaNhingswari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang tertarik dan peduli dengan tradisi dan budaya Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Upacara "Ngaluang"/"Nyapatin" di Bali sebagai Bukti Kebenaran Konsep Punarbhawa atau Reinkarnasi

10 Mei 2024   08:38 Diperbarui: 10 Mei 2024   08:40 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agama di Indonesia cenderung memiliki kaitan erat dengan adat, tradisi, atau budaya Nusantara. Terlebih lagi Agama Hindu yang memiliki karakter membaur dengan budaya sekitar sebagai proses penyebarannya sejak dahulu kala. Hal serupa terjadi di Bali, yakni umat Hindu di Bali memiliki begitu banyak lapisan adat, budaya, dan agama yang melekat pada identitasnya. Mulai dari sarana prasarana upacara yang mengandung unsur seni dan budaya, seperti banten, penjor, ogoh-ogoh, gamelan, hingga tarian sakral. Begitu banyaknya adat dan budaya yang dimiliki umat Hindu di Bali, namun sebagian di antaranya memiliki kaitan yang sangat erat dengan leluhur. Umat Hindu di Bali menghormati dan mempercayai leluhurnya sebagai narahubung atau perpanjangan tangan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan), hal ini dibuktikan dengan adanya "Pura Kawitan". 

Pura Kawitan adalah tempat umat Hindu di Bali untuk melakukan pemujaan sebagai bentuk penghormatannya kepada leluhur sekaligus mengekspresikan rasa kasih sayang kepada Tuhan. Setiap Pura Kawitan tersebut pun memiliki kisah sejarahnya masing-masing, seperti kisah leluhur yang berkuasa atau berjuang yang kemudian ditempatkan pada altar pemujaan Pura Kawitan tersebut. Tak hanya itu, masih banyak lagi adat dan tradisi umat Hindu di Bali yang bernuansa pemujaan kepada leluhur. Seperti Piodalan, Ngaben, Metuunan, hingga Galungan dan Kuningan. Adapun hal ini merupakan bentuk dari Pitra Yadnya, yaitu korban suci tulus ikhlas yang ditujukan kepada leluhur.

Pitra Yadnya berkaitan dengan konsep kepercayaan umat Hindu bahwa setiap manusia yang lahir ke dunia memiliki tiga hutang yang wajib dibayar, yakni "Tri Rna" dengan salah satu bagiannya adalah Pitra Rna atau hutang kepada leluhur. Kenyataan bagaimana leluhur mengambil peran yang begitu besar bagi umat Hindu di Bali menggambarkan pula bagaimana kepercayaan umat Hindu di Bali terhadap konsep "Punarbhawa".

Punarbhawa adalah salah satu bagian dari Panca Sradha, yakni lima dasar kepercayaan atau keyakinan umat Hindu. Panca Sradha dapat dikatakan sebagai inti dari ajaran Agama Hindu itu sendiri. Adapun bagian-bagian dari Panca Sradha adalah sebagai berikut:

1. Brahman/Widhi Tatwa 

Widhi Tatwa berasal dari Bahasa Sansekerta, di mana "Widhi" dapat diartikan sebagai "menakdirkan" dan "Tatwa" artinya filsafat. Maka Widhi Tatwa berarti filsafat tentang yang "menakdirkan", yakni Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam Agama Hindu, kesejahteraan dunia dan kebahagiaan rohani adalah tujuan utama yang dapat ditempuh melalui empat jalan yang disebut sebagai Catur Marga. Adapun salah satu bagian dari Catur Marga adalah Bhakti Marga atau Bhakti Yoga, yakni pemujaan kepada Tuhan dengan tulus ikhlas. Oleh karena itu diperlukan keyakinan kepada Tuhan yang juga disebut sebagai Widhi Sradha untuk dapat menimbulkan rasa bhakti dan menempuh jalan ini, sehingga kesejahteraan dan kebahagiaan rohani yang merupakan tujuan dari Hindu akan dapat tercapai.

2. Atman

Hindu mempercayai Tuhan Yang Maha Esa bersifat maha ada, kekal, tanpa awal dan tanpa akhir, serta ada di mana-mana yang disebut Wyapi Wyapaka Nirwikara. Hal ini karena Tuhan meresapi setiap makhluk ciptaannya melalui Atman yang merupakan bagian atau percikan kecil suci dari diri-Nya (Brahman).

3. Karma Phala 

Karma memiliki arti "perbuatan" dan Phala artinya "hasil", sehingga Karma Phala berarti hasil dari suatu perbuatan. Umat Hindu mempercayai setiap baik ataupun buruknya perbuatan yang dilakukan akan memberikan hasil yang setimpal, oleh karena itu Hindu mengajarkan Dharma atau ajaran kebenaran sebagai pedoman segala perbuatan umatnya.

4. Punarbhawa

Punarbhawa berasal dari Bahasa Sansekerta, yakni Punar yang berarti "lagi/kembali" dan Bhawa yang artinya "menjelma/lahir", sehingga Punarbhawa adalah kelahiran kembali secara berulang-ulang. Punarbhawa juga disebut sebagai reinkarnasi, penitisan, dan samsara.

5. Moksa

Dalam Agama Hindu menyatakan "Moksartham Jagadita Ya Ca Iti Dharma", yang artinya bahwa tujuan Dharma (Agama Hindu) adalah moksa. Moksa merupakan bersatunya kembali Atman dengan Brahman. Istilah Moksa berkaitan dengan "Mukti" yang artinya "Kelepasan", dan Moksa adalah tujuan tertinggi umat Hindu yang pencapaiannya didasarkan pada cinta kasih serta ketidakterikatan duniawi.

Dalam Kitab Sarasamuscaya sloka 4 dikatakan:

"Iyam hi yonih prathama yonih prapya jagatipate, Atmanam sakyate tratum karmabhih subhalaksanaih. Apan iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, makasadhanang subhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika."

Terjemahan:

Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.

Sloka tersebut menyatakan kebenaran adanya konsep Punarbhawa sebagai salah satu dasar keyakinan Agama Hindu. Berkaitan dengan adat dan kebudayaan umat Hindu di Bali khususnya yang memiliki karakteristik pemujaan leluhur sebagai salah satu warna yang pekat dalam prosesi keagamaannya, salah satu jenis upacara keagamaan umat Hindu di Bali yang menggambarkan penghormatan dan kepercayaan terhadap leluhur serta konsep Punarbhawa adalah upacara Ngaluang/Nyapatin. Upacara ini adalah rangkaian dari upacara Abulan Pitung Dina, yakni upacara keagamaan tergolong Manusa Yadnya yang dilaksanakan saat bayi berusia 42 hari berdasarkan perhitungan mengikuti wuku yang bermakna sebagai tahapan pembersihan jiwa bayi dan pengembalian "nyama bajang" sang bayi. Nyama bajang atau "saudara muda" dalam Bahasa Indonesia adalah segala kekuatan dari Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang bertugas membantu Kanda Pat (empat kekuatan Tuhan yang selalu menyertai roh manusia sepanjang hidupnya) dalam menjaga dan memelihara bayi sejak mulai tumbuhnya benih dalam kandungan hingga kelahiran. Dipercayai terdapat 108 nyama bajang yang harus dikembalikan setelah bayi berusia 42 hari karena jika tidak akan mengganggu perkembangan dan kehidupan sang bayi ke depannya. Selain itu, upacara Abulan Pitung Dina juga mengandung filosofi pengesahan sang bayi untuk mendapatkan anugerah dari Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa.

Upacara Ngaluang/Nyapatin, jika dilihat dari bahasanya "Nyapatin" adalah Bahasa Bali yang berarti "menyapa" dalam Bahasa Indonesia. Secara sederhana, upacara ini dilakukan untuk menanyakan atau mengetahui siapakah roh leluhur yang bereinkarnasi pada tubuh sang bayi. Hal ini juga biasanya dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat "hutang" yang perlu dibayarkan oleh leluhur tersebut dari masa lampau di masa sekarang, ataupun untuk sekedar mengetahui bagaimana sekiranya karakter sang bayi sebab biasanya masih ada beberapa sifat di kehidupan roh leluhur tersebut pada masa lampau yang mirip dibawa oleh sang bayi pada masa sekarang. Adapun prosesi untuk mengetahui siapa yang bereinkarnasi di bayi tersebut dalam upacara Ngaluang/Nyapatin secara singkat adalah dengan bertanya kepada Balian (orang "pintar") sambil membawa banten (sesajen/persembahan) yang dibutuhkan. Upacara Ngaluang/Nyapatin ini pun memiliki nama dan proses yang berbeda-beda di setiap daerah di Bali, namun mengandung inti yang sama. Seperti di desa Bali Aga bernama Pedawa (Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng), upacara ini disebut Nanggapang Abulan Pitung Dina. Ciri khas dari upacara Nanggapang di Desa Pedawa adalah menggunakan tirta dari beruk dan menggunakan pengetisan dengan tiga jenis pucuk pohon, yaitu pucuk dap-dap tis, pucuk tabah, dan pucuk menireng serta menggunakan banten penanggapan.

Kebenaran tentang adanya Punarbhawa atau reinkarnasi memang sering dipertanyakan karena sulit dibuktikan, namun upcara adat umat Hindu di Bali bernama Ngaluang/Nyapatin ini seolah menjawab pertanyaan dari keraguan tersebut. Terlepas dari benar tidaknya Punarbhawa secara logika atau ilmu pengetahuan yang ada, mempercayai konsep ini sejatinya menuntun kita untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Mengetahui bahwa hidup kita saat ini tidak berakhir begitu saja, namun akan berdampak bagi kehidupan selanjutnya tentu mampu mendorong kita untuk melakukan ajaran kebaikan dan kebenaran (Dharma). Selain itu, konsep Punarbhawa ini juga berkaitan dengan hukum Karma Phala, di mana baik/buruknya perbuatan yang kita lakukan akan selalu memberikan hasil yang sepadan. Alasan Atman dilahirkan kembali dalam wujud manusia ke dunia (reinkarnasi) adalah karena masih adanya Karma Wasana, yakni bekas atau sisa-sisa perbuatan sebagai akibat produk pikiran di kehidupan terdahulu. Biasanya hal ini cenderung berkaitan dengan "karma buruk" bahkan "dosa", sehingga Atman tersebut dilahirkan kembali untuk menebus dan memperbaikinya. Siklus tersebut akan terulang terus-menerus hingga Atman benar-benar sudah terlepas sepenuhnya dari keduniawian atau Karma Wasana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun