Saat makan siang, sang nenek yang dipanggil dengan Nin memanjakan lidahku dengan masakan-masakan enaknya. Lalapan lengkap dengan sambal dadak dan ikan gorengnya menggugah selera. Di sebuah mangkok, aku melihat menu bumbu balado yang begitu menggiurkan. Baunya sedap, pasti nikmat di lidah.
Tidak tahu itu apa, tapi bukan kentang karena potongannya lebih tipis dari yang biasa aku tahu. Bentuk dan warnanya juga agak berbeda dari kentang.
“Dicoba ini.” Tawar Nin. “Enak. Kancing lepis”. Keningku agak berkerenyit mendengarnya. Kancing lepis? pikirku heran. Kancing Levis, barangkali demikian otakku mencerna. Sangat faham karena beberapa temanku yang berbahasa Sunda sering mengubah huruf ‘f’ atau 'v' menjadi ‘p’.
Film menjadi pilem, contohnya. Cucu Nin, Andin yang adalah sobat kecilku sejak sekolah dasar di Jakarta dulu, tertawa mendengarnya. Bibirnya mencebik seolah mengiyakan sang nenek.
Kusendok sedikit dan kucoba. Otakku mengirim sinyal soal makanan ini. “Eeemmm…ini seperti hati macan yang aku makan di Padang.” Ujarku sambil masih mencari-cari ketepatannya. Andin tiba-tiba pecah tawanya. Sang nenek kaget melihat reaksi cucunya.
“Kenapa kancing lepis menyebutnya, Nin?” aku penasaran.
“Karena bentuknya bulat dan coklat seperti kancing celana jeans.” Andin yang tak ditanya menjawab masih dengan wajah yang geli. “Sudah, Nin. Kalau dia tahu, tak jadi makan dia.”
“Enak?” tanya sang neneksambil memperhatikanku makan. Aku mengangguk. Memang enak. Aku melihat Andin mengusap airmata karena gelinya menertawakanku. “Itu jengkol, geulis”
“Haté maung jeung kancing lepis téh sarua. Disebutna jengkol ” - Hati macan dan kancing lepis itu sama namanya jengkol.” Jelas sang nenek. “Selama dia tua, dia legit dan enak dibuat berbagai masakan.”