Mohon tunggu...
Winni Soewarno
Winni Soewarno Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa yang sedang belajar menulis

Perempuan yang sedang belajar menulis dan mengungkapkan isi kepala. Kontak : cempakapt@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menyerah? Permainan Belum Berakhir!

1 Maret 2022   15:51 Diperbarui: 1 Maret 2022   15:55 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar:a.grid.id

Aku ketitipan keponakan kelas 3 SD. Orang tuanya sedang ke luar kota karena ada keluarga sakit. Untunglah keponakan perempuan yang satu ini tidak lasak seperti keponakanku yang laki-laki. Selesai makan malam, kami duduk santai bersama. Aku duduk di sofa dan mencari-cari saluran televisi melalui remote. Cia, keponakanku, duduk dilantai dengan tangan bertumpu di sofa yang aku duduki. di sebelahku. Matanya terpaku pada gawai ditangannya yang lebih besar dari  telepon genggamku.

Bosan tak menemukan film yang bagus, aku melirik Cia. Sedang sibuk dia memainkan sebuah permainan di gawainya. Penasaran, aku beringsut agar lebih dekat. Nampak serius penuh konsentrasi. Aku jadi tertarik dan mulai ikut memperhatikan. Permainan itu tidak asing bagiku.  Namanya Candy Crush. Aku pernah mencoba beberapa versi permainan ini. Sayangnya tidak pernah bertahan lama. Lebih sering mati kehabisan kesempatan bermain. Tidak mampu menyelesaikan tantangan permainan lima kali, mengakibatkan permainan tidak bisa dilanjutkan. Bila mampu menyelesaikan tantangan yang diberikan, jatah kesempatan bermain tidak berkurang dan bisa melanjutkan permainan sampai mendapatkan akumulasi kekalahan lima kali.  Setelah mencapai batas itu, permainan akan berakhir. Babak baru akan bisa dimainkan lagi setelah jangka waktu tertentu sesuai waktu yang muncul.

Dalam diam aku ikut menikmati permainannya. Piawai juga anak ini, pikirku.  Tersisa dua langkah sebelum permain berakhir. Kutolehkan kepalaku, anak ini masih nampak tenang tapi serius menghadapi permainan yang sudah diujung tanduk.  

“Nampaknya akan kalah, Ci. Biskuitnya masih belum tercelup coklat semua. Berhenti saja bermainnya. Matamu diistirahatkan dulu.”

“Ini belum mati kok…. Jalannya masih ada.  Siapa tahu, kalau kita mainkan jalannya jadi terbuka.”sahutnya dengan mata masih tetap menatap gawainya.

Jleeeep…perkataan Cia serasa menembus hatiku. Apa yang dikatakan bocah sembilan tahun ini memberiku sebuah pencerahan. Jangan dulu menyerah meski dead-end – jalan buntu,  didepan mata.

Saat itu, aku sedang menghadapi sebuah “permainan” dikehidupan kantor tempatku bekerja. Aku sedang menghadapi dilema dengan salah seorang bawahan yang membuat semua orang menjadi sakit kepala. Pegawai yang satu ini menurutku smart.  Tim pewawancara yang mewawancarainya saat melamar masuk melihat potensi besar pada diri anak muda ini. Herannya, hampir semua kepala tim mengeluh. Tak bisa kerja. Lambat. Tidak mau membantu.

 Kurang inisiatif. Itu keluhan yang kucatat. Rotasi kebeberapa tim sudah dilakukan, hasilnya belum juga kelihatan. Belum nampak kemampuannya yang sebenarnya. Keluhan mengenai dia masih juga belum berkurang. Posisiku hampir sama dengan permainan yang dimainkan Cia. Jika tidak ada kemajuan, mungkin permainan harus berakhir. Game over – baginya . Haruskah aku bersabar?  Menyerah? Angkat tangan dan cari orang baru supaya tidak pusing berkepanjangan?.  

Kesabaran Cia menghadapi permainan di gawainya, membuatku berfikir lagi. Sebelum habis langkah, apa salahnya aku gunakan satu kesempatan pada pegawai yang satu itu. “Siapa yang tahu, kalau kita mainkan jalannya jadi terbuka.” Itu komentar Cia yang bergema dikepalaku. Bagaimana bisa tahu berhasil atau tidak jika tak dicoba, bukan?.

Kupanggil Beni hari berikutnya. Dia datang dengan kepala tertunduk, nampak takut. Kucoba mencairkan suasana supaya ketakutannya mereda. Obrolan ringan kulempar untuk menggali informasi. “Saya masih mendapat laporan bahwa kinerjamu belum membaik. Masih kurang kooperatif, tidak suka membantu anggota tim lain. Suka menghilang dan tidur saat jam kerja. Bisa jelaskan alasannya?.” Akhirnya terlontar juga pertanyaan itu. Beni tampak pasrah akan hasilnya saat aku menutupnya dengan informasi akan melapor pada pimpinan.

Saat pertemuan dengan pimpinan dan kepala-kepala tim, aku mengungkapkan hasil pembicaranku dengan Beni. Beberapa wajah tampak terkejut saat mengetahui Beni tak bisa maksimal dalam pekerjaannya karena tidak menikmati pekerjaan yang diberikan kepadanya. 

Saat hasilnya tidak seperti yang diharapkan, dia dipindahkan ke tim lain. Setiap pindah tim, pekerjaan yang diberikan selalu berkaitan dengan administrasi. Sesuatu yang bukan minatnya. Juga diluar kemampuannya. Bukan tak mencari tahu, bukan pula tak mencoba. Tapi hanya setingkat itulah kemampuannya dibidang administrasi. 

Dia senang teknologi informasi dan itu juga latar belakang pendidikannya. Info tentang ibunya yang sakit hampir dua tahun ini kusampaikan juga. Dia berbagi tugas dengan adiknya untuk merawat dan menjaga sang ibu. Sejak beberapa minggu lalu, ibunya dirawat di rumah sakit. Bergantian mereka tidur di rumah sakit. Bisa jadi, ini salah satu penyebab mengapa Beni tidak baik kinerjanya. Aku pernah berada di situasi seperti itu. 

Aku bisa merasakan bagaimana rasanya berjaga dirumah sakit. Tak bisa ikut tertidur meskipun yang dijaga tidur. Istirahat terganggu. Makan tidak terjaga. Dampaknya bisa kemana-mana. Lelah menyebabkan sulit konsentrasi bekerja. Mudah marah dan tidak sabaran. Belum lagi jika memikirkan biaya perawatan rumah sakit. Sakit kepala bisa muncul tiba-tiba.

Saat itu, aku meminta agar dipertimbangkan untuk memberinya kesempatan sekali lagi. Kesempatan baginya untuk memperlihatkan kemampuannya di bidang yang dikuasainya. Melewati pro dan kontra, akhirnya forum setuju dan memutuskan untuk memberinya kesempatan bergabung dengan tim IT. 

Aku melihat secercah kebahagiaan di wajah anak muda ini saat kuberitahu. Postur tubuhnya menjadi lebih tegak. Senyum yang biasanya sangat pelit diperlihatkan, nambah lebar mengembang. Kepercayaan diri yang baru nampak muncul tiba-tiba. Ucapan terimakasihnya yang sungguh-sungguh, entah mengapa membuatku merasa lega.

Dari masalah Beni, aku diingatkan. Sebagai orang yang beruntung menduduki jabatan lebih tinggi, kemampuanku harus terus diasah. Tidak cuma kemampuan dalam melakukan pekerjaan. Kemampuan menangkap sinyal yang memerlukan kepekaan batin juga harus ditambah. Empati tak boleh terhenti. Keperdulianpun harus ditingkatkan. Bila ada yang susah, ada tempat berkeluh-kesah.

Hari ini, aku bersyukur sudah memohonkan kesempatan itu. Beni menampakkan kinerja yang sangat baik. Dia tidak jadi dipaksa mengundurkan diri. Dia bahkan menjadi salah satu personil IT yang bisa diandalkan. Terlebih dimasa pandemi Covid 19 ini, ketrampilannya sangat nyata membantu membuat perusahaan kami bisa bertahan.

Satu catatan lagi kutambahkan dibuku kehidupanku dari permainan Candy Crush. Bahwa hidup itu adalah sekumpulan “permainan”. Meski langkah di permainan itu nampak hampir habis. Mainkan terus, siapa yang menyangka jika langkah yang diambil itu akan membukakan jalan tak terduga. Jangan menyerah!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun