Dalam beberapa tahun terakhir, diskursus mengenai "matinya kepakaran" telah menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan, terutama dalam konteks media sosial. Fenomena ini mencerminkan pergeseran pola komunikasi dan konsumsi informasi di tengah masyarakat global. Media sosial, yang awalnya dirancang sebagai platform untuk berbagi dan berinteraksi, kini bertransformasi menjadi ruang yang sering kali menantang otoritas para pakar dan keilmuan tradisional.
Era digital menghadirkan arus informasi yang begitu deras. Media sosial mempermudah siapa saja untuk mengakses, membagikan, dan menciptakan konten tanpa batasan geografis atau institusional. Namun, di sisi lain, kebebasan ini juga memunculkan tantangan baru, terutama terkait validitas informasi dan otoritas sumber.
Konsep "matinya kepakaran" merujuk pada kondisi di mana otoritas para ahli di berbagai bidang mulai dipertanyakan atau bahkan diabaikan oleh masyarakat luas. Informasi dari pakar sering kali disejajarkan dengan opini publik atau bahkan spekulasi yang tidak berbasis data. Hal ini diperparah dengan algoritma media sosial yang cenderung memprioritaskan konten berdasarkan popularitas, bukan kredibilitas.
Kemunculan media sosial membawa dampak signifikan dalam proses demokratisasi informasi. Setiap individu kini memiliki kesempatan yang sama untuk menyuarakan pendapatnya. Namun, di sisi lain, hal ini juga menciptakan paradoks: semakin banyak suara yang muncul, semakin sulit untuk memilah mana yang berbasis fakta dan mana yang hanya opini.
Dalam konteks ini, narasi para pakar sering kali kalah bersaing dengan narasi yang lebih emosional atau sensasional. Misalnya, topik-topik yang berkaitan dengan kesehatan, perubahan iklim, atau teknologi sering menjadi bahan perdebatan panas. Alih-alih mempercayai data ilmiah, banyak pengguna media sosial yang lebih tertarik pada konten yang mendukung bias atau keyakinan pribadi mereka.
Algoritma media sosial memainkan peran besar dalam membentuk cara masyarakat mengonsumsi informasi. Algoritma ini dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin, sering kali dengan mempromosikan konten yang kontroversial atau menarik secara emosional. Akibatnya, informasi yang valid dari pakar sering tenggelam oleh banjir konten yang lebih mudah diterima publik, meskipun tidak selalu benar.
Efek "echo chamber" juga turut memperkuat fenomena ini. Pengguna media sosial cenderung terpapar pada konten yang sesuai dengan pandangan mereka sendiri, sehingga mempersempit ruang untuk dialog yang berbasis data atau keilmuan. Hal ini membuat informasi dari pakar sering kali tidak mencapai audiens yang seharusnya, atau bahkan ditolak mentah-mentah karena dianggap bertentangan dengan keyakinan yang sudah tertanam.
Salah satu dampak utama dari "matinya kepakaran" adalah menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi dan otoritas keilmuan. Masyarakat menjadi lebih skeptis terhadap pandangan atau rekomendasi dari para ahli, terutama jika informasi tersebut bertentangan dengan narasi populer di media sosial.
Dalam beberapa kasus, kondisi ini bahkan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan publik. Contohnya, penyebaran informasi keliru terkait vaksin atau pandemi telah menghambat upaya pemerintah dan komunitas ilmiah dalam mengatasi krisis kesehatan global.
Di tengah fenomena ini, para pakar menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan di era media sosial. Komunikasi keilmuan yang cenderung formal dan kompleks sering kali tidak efektif dalam menjangkau audiens yang terbiasa dengan format konten singkat dan menarik.