Namanya Meriana Rungkat. Saya mengenal wanita kelahiran Makasar, 12 Januari 1979 ini dari sosial media Facebook tiga tahun yang lalu. Berawal dari rasa suka akan komentar – komentarnya yang senantiasa bernuansa positif dan membangun pada status-status beberapa teman saya di dunia maya, sayapun mengundang Meriana atau yang biasa dipanggil Riana ini menjadi teman Facebook, yang kemudian di konfirmasinya.
Status-status Riana cukup sering muncul di wall saya. Dari status-status tersebut, saya mengetahui perjalanan pergumulannya memerangi penyakit kanker leukemia darah type AML stadium akhir yang menggerogoti tubuhnya. Pengobatan medis terkini yang ditempuhnya adalah Prossedure Stempcell Gene Therapy atau penggantian DNA dan golongan darah dengan menggunakan darah pendonor dari keluarga terdekat, dilakukan di RS. National University Hospital (RS. NUH), Singapura.
Segera saja Riana dan seluruh keluarganya yakni suami beserta kedua anaknya dari Manado pindah ke Surabaya, ke tempat tinggal orang tua Riana. Kedua anaknya yakni Agra dan Chaleena pindah sekolah di tengah semester ke Surabaya.
Saat dalam perawatan di rumah sakit, Riana berhasil lulus Sarjana Theologia secara inabsentia, cumlaude wisudawan STTI Baptis Manado, tahun 2013.
Di RS. NUH, Riana yang berstatus pasien, tidak diam berpangku tangan, merenungi nasibnya. Dikala fisiknya sedang fit, ia mengunjungi sesama pasien kanker leukemia dari Indonesia lainnya yang kemudian disebutnya sebagai Little Indonesia. Sering kali suster disana menegurnya, memintanya untuk istirahat saja. Riana tertawa, dengan selang infus di tangan, serta mendorong tiang infus ia tetap melakukan kunjungan-kunjungannya ke sesama survivor di sana.
Pada akhirnya, Riana justru diminta oleh pihak rumah sakit untuk membantu menolong pasien survivor dari negara lain yang enggan berobat, agar bersedia di kemoterapi.
Riana mendoakan serta menguatkan rekan-rekan sesama survivor serta keluarga mereka. Tak hanya doa, beberapa kali Riana bahkan berbagi dana pengobatan (yang sebenarnya ia sendiri membutuhkannya) kepada beberapa rekannya tersebut. Tentu hal ini tidak ditulisnya di status Facebooknya, melainkan dalam inbox pribadi dengan saya. Disinilah simpati serta respek saya tumbuh mendalam padanya. Betapa tidak, seseorang yang peduli kepada kesulitan sesamanya disaat ia sendiri dalam kesulitan itu semakin langka di dunia ini bukan?
Kala Riana diijinkan dokter untuk pulang ke Indonesia, ke Surabaya, ia meneruskan pelayanan kunjungannya. Pernah ia bahkan rela berjalan kaki, berjuang melewati banjir setinggi lututnya demi mencapai rumah Bp. Dumadi Djohan, sahabat FB yang diketahuinya sedang sakit.
Bagaimanapun energik, kuat serta cerianya seorang Riana, ia adalah seorang wanita biasa. Riana only a human, begitu berat dan sulit rasanya kala ia harus berkali-kali meninggalkan putera sulungnya Agra Berthan yang saat ini berumur 13 tahun dan duduk di kelas 8, serta putrinya Chaleena Diminsa yang berumur 9 th dan duduk di kelas 4 SD di Surabaya, untuk berangkat berobat selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu di Singapura. Chaleena bahkan sambil menangis dalam pelukannya, mengatakan demikian : “Tidak apa-apa mommy pergi berobat meninggalkan aku disini, yang penting aku tahu, mommy ada dan hidup di sana.”
Riana only a human, tubuhnya menjerit kesakitan dan kelelahan, entah berapa kali sudah ia ditusuk jarum-jarum serta harus menanggung efek dari obat kemoterapi yang dimasukkan ke dalam tubuhnya. Rasa mual dan meriang yang tak tertahankan, bibir berjamur, tubuh bengkak, rambut rontok habis, bahkan sekali pernah koma, dan lain-lain ...membuat Riana hendak menyerah, bahkan pernah meminta suaminya untuk mencari istri baru baginya. Usulnya ini segera di tolak tegas oleh suaminya, Mark Xavier Panambunan. Mark bersikeras memegang teguh ikrar suci janji pernikahan yang mereka ucapkan berdua pada 23 Juni 2001 di altar gereja.
Riana only a human, berkali-kali ia merasakan ketakutan akan hasil laboratorium darahnya. Ia pun sedih dan bimbang akan biaya pengobatannya yang tidak sedikit ini. Namun demi impiannya untuk menyaksikan kedua buah hatinya bertumbuh dewasa dan beranak cucu, sang mommy Riana terus berjuang dengan segenap amunisi yang dimilikinya, masuk ke dalam kancah pertempuran yang sangat sengit antara hidup dan mati (dan itu berulang kali terjadi di rumah sakit) melawan leukemia dalam dirinya. Mark serta keluarga besar yang mengasihinya terus mendukungnya untuk terus maju berobat, mengambil segala jalan pengobatan medis demi kemungkinan kesembuhan yang ada.