Mohon tunggu...
Celestine Patterson
Celestine Patterson Mohon Tunggu... Hoteliers - Hotelier: Hotel Management, Sales Leader, Management Hospitality

🍎Hotelier's Story : Pernak-Pernik Dunia Hospitality (Galuh Patria, 2021). Warna-Warni Berkarir Di Dunia Hospitality (Galuh Patria, 2022). Serba-Serbi Dunia Perhotelan by CL Patterson dkk (Galuh Patria, 2023). Admin of Hotelier Writers Community (9 June 2023 - present)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenangan Disetrap Ibu Guru

29 November 2021   09:33 Diperbarui: 29 November 2021   22:28 1807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu Lestari, guru mata pelajaran fisika di sekolah menengah pertama. Dikenal galak apalagi kalau pekerjaan rumah (PR) darinya tidak dikerjakan. Bisa disetrap, didapuk pengganti Pak Emen, petugas kebersihan sekolah. Selama 10 menit menyapu di lapangan upacara.

Murid langganan yang disetrap ialah Herman, Toto dan Dena. Jika mereka disetrap, bagai kelompok kerja bakti, selalu kompak.

Saya 2 kali disetrap karena ketawa sendirian saat Bu Lestari mengajar. Berikutnya disetrap karena ngobrol dengan Dena.

Esoknya kami harus membawa surat dari wali kelas untuk orang tua masing-masing.

"Nak, kalian sering ngobrol apa di kelas?" tanya ibuku setiba di rumah. Dengan polos kucerita tentang Dena yang asyik kalau bawa mainan gimwot alias game watch. Maklum pamannya Dena tinggal di Amerika, kadang mengirimkan hadiah untuknya.

Suatu hari, iseng kubuka surat untuk Bu Lestari dari ibuku. "Telah dinasehati. Terima kasih atas perhatian Jeng Tari." begitu tulis balasan surat itu

Wah gegara ocehan Dena, jadi melebar ceritanya. Ibu Tari melaporkanku!

Kubaca judul surat yang ditulis tangan itu. "Kepada orang tua murid, perihal tidak menyimak di kelas."

Dena, kawan sebangku memang sering mengajakku ngobrol. Ada saja bahan obrolannya. Ibunya yang baru membeli pemerah bibir saja jadi bahan cerita. Apalagi gaya senam model baru, kaset lagu-lagu barat yang baru terbit hingga buku seri remaja yang baru dibeli.

Dena itu supel, senang gaul, disukai kawan sekelas. Setiap pribadi mengenalnya. Bukan tak beralasan memilihku sebagai sahabat karib. Ia suka nyontek PR-ku hehe. Kalau saya sebangku dengan Dita, wajahnya cemberut.

Saya cerewet. Terkadang Dena sembarangan mengotori meja. Tumpukan bekas serutan pensil bertebaran di meja.

Pagi itu, bel tanda masuk kelas lebih awal. "Anak-anak, pelajaran kesenian diganti dengan fisika sebab Pak Max berhalangan."

Wah, pelajaran menyanyi urung pagi itu diganti fisika. Giliran bernyanyi berubah menjadi pelajaran tegang. Bu Lestari pengajarnya.

Tetiba bu guru sudah di depan kelas. Dena menunjukkan sepatu barunya padaku. Ketika asyik ngobrol, plak...! Penggaris Ibu Lestari kena tangan kananku dan Dena. Lalu kami berdua disetrap.

Setelah pecutan itu, saya mengadu pada ibuku. "Mami, aku gak mau sekolah lagi." Saya cerita bahwa Ibu Tari memukulku.

Saya pundung, kolokan, tak mau sekolah. Ayahku tak mau pusing dengan masalah macam itu. Ia bahkan hendak memindahkanku ke sekolah favorit yang berlokasi agak jauh dari rumah. Bagai diatas angin, hati bersuka ria karena takkan lagi melihat wajah Bu Tari.

Guru yang berkualitas dapat melahirkan orang-orang hebat. (ilustrasi Pixabay gratis)
Guru yang berkualitas dapat melahirkan orang-orang hebat. (ilustrasi Pixabay gratis)

Setelah 2 hari bolos sekolah, hari ke-3 bosan mulai menerpa. Kali ini Ayah membujukku ke sekolah. Siapa berani  melanggar perintah Ayah?

Dena dan kawan-kawan geng menyambutku. Aku disambut dari pagar sekolah. Tanganku ditarik-tarik, ingin dekat denganku. Ya, saya rindu kembali ke sekolah.

Mendengar keriuhan di kelas, tetiba bu walikelas mendatangiku. Ia menyambut dengan ramah seolah tidak terjadi sesuatu apapun. Bu Lestari menggandeng tanganku "Anak-anak, ini kawanmu sudah kembali sekolah...!" Begitu ucapnya pada semua murid.

Saya memandangi kawan-kawan yang riuh. Senang, sebab mereka mengerumuniku bagai artis dikerubuti wartawan. Padahal bolosku kan karena dipecut. Saya pun urung pindah sekolah.

Tahun berganti, usia bertambah. Setiap pribadi biasanya matang dalam berpikir. Setelah berumah tangga, lebih menghayati serta mencerna sesuatu peristiwa. Satu persatu terbayang wajah ibu dan bapak guruku.

Pak Max, guru kesenian yang memilihku menjadi penyanyi di vokal group, suaranya merdu karena ia seorang penyanyi. Pak Simon, kepala sekolahku yang sesekali menjadi guru pengganti.

Pak Karim, guru bahasa Indonesia yang selalu bertutur kata halus dan lembut. Tampak dari penampilannya yang selalu rapi. Rambutnya kelimis diolesi minyak rambut.

Ibu Risna, guru bahasa Inggris yang agak ketus tapi kepadaku ia baik hati. Ibu Lia yang selalu makan di ruang guru karena bekal makanan hasil olahan di dapur. Termasuk Ibu Lestari, guru fisika yang killer itu, kata anak zaman now.

Guruku, terimakasih telah mengajar ilmu pengetahuan dan budi pekerti. (ilustrasi Pixabay getty images)
Guruku, terimakasih telah mengajar ilmu pengetahuan dan budi pekerti. (ilustrasi Pixabay getty images)

Dua tahun lalu, saya menemukan unggahan putra bungsu Ibu Lestari di media sosial. Kami bertegur sapa. Saya mengingat Arya, kawan seusiaku tapi beda sekolah. Ia kerap diajak ibu Lestari ke sekolah. Tiada seorang pun yang menemani di rumah, jadi biasanya diajak bu guru ke sekolah.

Pertemuanku di medsos berubah menjadi akrab. Kemudian percakapan dilanjutkan via whatsapp. Arya, pemilik perusahaan IT ternama di Jakarta. 

Arya, sosok putra bungsu guruku ini selain kawan sepermainan pula mengingatkanku akan pecutan penggaris sang ibunda ditanganku.

Ibu guru Lestari, seusia ibuku saat itu, sementara ibuku telah berpulang 11 tahun silam. Sedikit rambut putih telah menghiasi kepalanya. Mengajar, mengurus ketiga putranya, kesibukannya sangat luar biasa.

Kini membayangkan kesibukannya, sungguh hebat beliau mampu menanganinya. Saya kagum. Ibu Lestari guruku, ibu rumah tangga, juru masak keluarga. Sungguh pribadi jempolan.

Ia kerap membawa bekal makan siang ke sekolah untuk Pak Kurnia, suaminya yang mengajar hingga sore hari.

Putra pertama menjadi dosen di universitas ternama. Putra kedua berhasil menduduki jabatan penting di salah satu perusahaan lokal dan seorang putra mengelola perusahaan miliknya.

Ibu Tari teladan dalam keseharianku. Pantang mengeluh, giat bekerja dan selalu bersyukur dalam segala keadaan. Beliau lupa telah memukulku. Saya yang baperan.

Terima kasih guruku, saya tak mau lagi disetrap.

Berburu ke padang datar, mendapat rusa belang kaki. Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi. Selamat Hari Guru.


(*) Tulisan ini kupersembahkan kepada Ibu Lestari, yang terkasih guru SMP-ku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun