Wah, pelajaran menyanyi urung pagi itu diganti fisika. Giliran bernyanyi berubah menjadi pelajaran tegang. Bu Lestari pengajarnya.
Tetiba bu guru sudah di depan kelas. Dena menunjukkan sepatu barunya padaku. Ketika asyik ngobrol, plak...! Penggaris Ibu Lestari kena tangan kananku dan Dena. Lalu kami berdua disetrap.
Setelah pecutan itu, saya mengadu pada ibuku. "Mami, aku gak mau sekolah lagi." Saya cerita bahwa Ibu Tari memukulku.
Saya pundung, kolokan, tak mau sekolah. Ayahku tak mau pusing dengan masalah macam itu. Ia bahkan hendak memindahkanku ke sekolah favorit yang berlokasi agak jauh dari rumah. Bagai diatas angin, hati bersuka ria karena takkan lagi melihat wajah Bu Tari.
Setelah 2 hari bolos sekolah, hari ke-3 bosan mulai menerpa. Kali ini Ayah membujukku ke sekolah. Siapa berani melanggar perintah Ayah?
Dena dan kawan-kawan geng menyambutku. Aku disambut dari pagar sekolah. Tanganku ditarik-tarik, ingin dekat denganku. Ya, saya rindu kembali ke sekolah.
Mendengar keriuhan di kelas, tetiba bu walikelas mendatangiku. Ia menyambut dengan ramah seolah tidak terjadi sesuatu apapun. Bu Lestari menggandeng tanganku "Anak-anak, ini kawanmu sudah kembali sekolah...!" Begitu ucapnya pada semua murid.
Saya memandangi kawan-kawan yang riuh. Senang, sebab mereka mengerumuniku bagai artis dikerubuti wartawan. Padahal bolosku kan karena dipecut. Saya pun urung pindah sekolah.
Tahun berganti, usia bertambah. Setiap pribadi biasanya matang dalam berpikir. Setelah berumah tangga, lebih menghayati serta mencerna sesuatu peristiwa. Satu persatu terbayang wajah ibu dan bapak guruku.
Pak Max, guru kesenian yang memilihku menjadi penyanyi di vokal group, suaranya merdu karena ia seorang penyanyi. Pak Simon, kepala sekolahku yang sesekali menjadi guru pengganti.