Ia terpaksa mengikuti nasihat orang tua kala sang ibu mengenalkan seorang pria dari pulau sebrang. Lelaki berkulit putih, berwajah sedang-sedang saja, calon dokter yang kini bekerja sebagai perawat.
Melihat masa depan sang calon menantu, ibunya setuju setelah berunding dengan calon besan yang adalah kawan ibunya sewaktu di bangku sekolah.
Ros tak kuasa menolak. Patuh, tunduk, jalan satu-satunya membahagiakan orang tua. Ia kuatir juga dicap anak durhaka, melawan kehendak sang ibunda.
Setelah menikah, Ros tinggal di rumah Jaka beserta mertua dan 2 adik perempuan.
Hari-hari setelah pernikahan, Seolah tak percaya, bahwa dirinya telah bersuami. Sang ibunda menyangka pasangan itu adem ayem saja.
Masa bulan madu, Ros memilih menginap di rumah sahabatnya ketimbang tinggal di rumah mertua.
Setelah beberapa bulan, sang ibunda curiga, sebab Ros tak kunjung hamil. Ada apa gerangan?
Bagai makan buah simalakama. Serba salah. Ros akhirnya memenuhi keinginan ibunda. Dua tahun berselang, ia positif hamil. Kedua keluarga besar bahagia, bersiap menyambut kelahiran sang bayi.
Dalam perjalanannya bersama Jaka, Ros mengarungi mahligai rumah tangga yang seakan misteri bagi saya. Biduk rumah tangga sebatas menyenangkan hati orang tua. Benarkah demikian?
Sebelum pandemi tiba, saya mendapat kabar terkini darinya. Ia berencana menikahkan putrinya yang pertama.
"Ini bukan hasil perjodohan lho Kak!", ujarnya padaku. Saya tersenyum dan bangga.