Saya mengenal Ros sejak duduk di bangku SMP. Ros anak sekolah pindahan dari luar kota.
Kebetulan kami memiliki hobi sama termasuk melukis, vokal grup dan berenang. Kemana-mana kerap pergi bersama. Persahabatan pun terjalin erat hingga akhir studi SMA, kami berpisah kota.
Tampaknya pertemanan semasa di bangku sekolah masih menyisakan kenangan. Kami saling curhat walau berbeda kota.
Ketika di bangku kuliah semester ke-2, ia menghubungiku. Pertemuan kali ini amat penting. Ia mewanti-wanti agar ada di rumah.
Ros dilahirkan dari keluarga berkecukupan. Memiliki 3 adik perempuan dan si bungsu laki-laki.
Orang tua Ros di bawah generasi silent atau silent generation yang terlahir tahun 1925 -- 1945. Mereka mendidik anak-anak dengan disiplin, penuh tanggung jawab. Selevel dengan kedua orang tuaku.
Suatu ketika, Tari, adik Ros, ijin untuk menikah dengan Doni, kakak kelasnya dahulu. Ros mengijinkan adiknya menikah.
Kalau jodoh takkan lari kemana
Waktu pun berlalu. Melihat si sulung yang sedang studi, ibunda menyampaikannya tentang rencana Tari yang akan mendahului acara pernikahan.
Ros tak keberatan dilangkahi sang adik menikah, sebaliknya ibunda panik. Setahun setelah pernikahan Tari, ia menanti agar Ros pun datang padanya lalu meminta untuk dinikahkan, seperti yang pernah dilakukan Tari.
Ros terkejut, bukankah ia sedang kuliah? Bagaimana mungkin kuliah sambil berumah tangga, sedangkan dirinya jomlo.
Dalam kekalutan, ia harus patuh pada orang tua, di sisi lain, bagaimana merampungkan kuliah.
"Aku berada di persimpangan, kira-kira bagaimana menurutmu?", tanyanya.