Saya pandangi bangunan anyar itu. Sepintas layaknya kos-kosan namun dari kejauhan seperti hotel bujet. Hendak masuk, gerbang tertutup. Lho bukankah gerbang hotel selalu terbuka?
"O itu kostel, Kak. Bisa pesan melalui daring. Ada kok di aplikasi tertentu," begitu ujar pemuda di sebrang kostel. Saat itu saya berada di kompleks perumahan.
Dari namanya dapat ditebak, kostel gabungan antara kos dan hotel. Keduanya serupa tapi tak sama. Kesamaannya, menyediakan kamar sebagai sumber utama penyedia jasa.
Belakangan banyak pebisnis hotel melakukan inovasi produk. Memodifikasi jenis usaha seperti capsule hotel, glampcamp (glamour camping), edutel (education hotel) dan kostel. Tentang capsule hotel, sila baca tautannya di Kamar Kapsul Bukanlah Peti Mati
Bagi anak perantauan yang sekolah maupun bekerja, ngekos adalah pilihan tepat daripada tinggal di rumah bude, tante, paman atau saudara sepupu misalnya.
Khusus penduduk Jakarta juga sebagai jurus jitu terhindar kemacetan di jalanan sebelum masa pagebluk. Seperti saya dulu, Senin hingga Kamis tinggal di kos. Jumat hingga Minggu pulang ke rumah di Bintaro. Lumayan, hemat tenaga.
Saya tak sendirian, beberapa teman kos juga penghuni di hari kerja, walau bayaran tetap penuh 30 hari.
Inovasi rumah kos dan hotel menjamur di mana-mana, terutama bidikan target kota-kota besar.
Seolah bisnis kostel menyedot pasar hotel bujet. Bahkan karena harga kamar di bawah kelas hotel bujet, maka kostel menjadi serbuan konsumen berikutnya. Beti, beda tipis.
"Kalau gak menyesuaikan diri terhadap pasar, kita rugi Kak," ujar Pak Adi, pemilik kos 20 kamar yang pernah saya tempati.
Beberapa hari kemudian, tampak Adi sedang mengawasi pegawainya, memasang papan reklame situs web miliknya di halaman rumah. Situs web itu untuk pemesanan online kostel.