Masih melekat dalam ingatan, Celestine kecil bersama teman sekelas mengikuti pawai pada hari Kartini. Memakai baju kebaya kuning dan jarik batik, bersanggul mungil, memakai selop. Pagi-pagi sekali ibu merias wajahku.
Baju kebaya kuning mungil masih kusimpan. Usianya hampir setengah abad dalam lemari baju. Ini saya sertakan fotonya. Kebaya buatan ibu saat aku berusia 4 tahun.
Aku ikut-ikutan pawai di jalan raya. Jalanan lengang, penonton pawai di pinggir jalanan. Ibu memandang dari jauh, melambai-lambaikan tangan. Usai pawai gerombolan ibu-ibu itu mencubit pipiku.
Hari itu tanggal 21 April, perayaan hari ibu kita, Kartini. Pawai terus berlangsung di SD, SMP hingga SMA. Disusul kontes kebaya, lomba membaca sajak, lomba menyanyi Ibu Kita Kartini.
Terakhir kali berkebaya di kantor 4 tahun lalu. Seluruh karyawan wanita memakai kebaya modern. Bagi pria, baju menyesuaikan kaum putri, ada yang memakai bendo, ada pula bergaya Betawi.
Belakangan, tidak hanya berkebaya Jawa, pakaian aneka baju adat suku Minang, Batak, Bali, Sunda dan sesuai suku masing-masing memenuhi panggung. Fashion show merebutkan gelar Ibu Kartini. Hadiah piala trofi tersedia di sebelah panggung.
Di hotel, tepat hari Kartini wajib berkebaya modern bagi seluruh staf wanita di bagian garis depan (front liner). Termasuk resepsionis dan seluruh staf wanita.
Memakai kebaya, merias wajah, berlenggak lenggok di panggung telah menjadi tradisi, namun apa makna yang terkandung?
Aku memahami Ibu Raden Adjeng Kartini pejuang emansipasi wanita. Aku bebas berlenggak lenggok terlepas dari belenggu penindasan. Mungkin penindasan karena aturan pekerjaan, penindasan suami bahkan penindasan keluarga.
Ibu Karni, sehari-hari bekerja membersihkan lantai, menyetrika, menyapu dedaunan pohon rambutan, mangga yang layu, tertiup angin.
Setiap bulan upahnya untuk keperluan sekolah anak tercinta. Ia tidak kekurangan uang sejak kedua anak mentas. Dua anak bergelar sarjana dan telah menikah sementara si bungsu sedang kuliah.
Tahukah anda bahwa naluri seorang wanita selalu berjuang demi keluarga? Dalam senang dan susah, sebelum kedua anak bekerja, Ibu Karni selalu kekurangan. Namun ia tak patah semangat. Seorang diri ia mendidik anak-anak sejak suami berpulang.
Kini si bungsu tidak lagi menjadi beban. Si sulung bekerja di salah satu perusahaan BUMN, gajinya mencukupi keperluan keluarga.
Wanita ini tak pernah kuatir akan sulitnya kehidupan. Pantang menyerah. Ia mencukupi kebutuhan keluarga seadanya walau berpenghasilan tidak tetap. Berkat kesabarannya, kedua anak lulus oleh bea siswa dari perusahaan besar.
Bu Karni enggan berleha-leha. Ia tetap rajin membersihkan perabotan rumah walau usia menua. Bagiku, ia contoh teladan seorang ibu. Ia telah menjadi bagian dari keluarga.
Wanita yang bekerja, belajar menafkahi dirinya sendiri, menghargai sekecil apapun sebuah pemberian. Jangan anggap sepele wanita yang sederhana ini.
Dalam memimpin wanita lebih luwes dan perhatian. Atasanku ingat tanggal hari ulang tahun setiap staf di departemennya. Jika staf pulang terlambat ia pesankan makan malam. Siapa yang tak senang disayang bos yang penuh perhatian? Bagiku, ia seorang atasan, ibu dan wanita teladan.
Tidak melulu karena pemberian materi namun kebebasan yang diberikan agar tim kreatif dan tidak terbelenggu ambisi perusahaan.
Bekerja atau tidak, seorang istri menjadi kodratnya mendampingi suami dan anak-anak. Ada masanya tidak berjalan beriringan karena suatu pekerjaan nun jauh di sana. Tak apa jika untuk sementara waktu. Baiklah adanya.
Emansipasi wanita terbebas dari perbudakan mental bukanlah angan-angan. Banyak wanita menunjukkan kemampuan mandiri, keinginan bebas menentukan pilihan untuk masa depannya. Trampil, selalu bersemangat, menyemangati keluarga, seperti Ibu Kartini,
Kehadiran seorang wanita sebagai pilar kokoh bagi keluarga, menopang sebuah keluarga bahagia dan sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H