"Pokoknya kamu harus jadi sarjana!", kata ayah kepada kakakku, Ben. Kalimat itu terngiang terus di telinga. Saya menguping suara ayah.
Perbedaan usiaku dengan Ben terpaut 12 tahun. Saat itu Ben bersiap memasuki universitas. Saya? sedang asyik di sudut kamar, membaca Bona si Gajah Kecil Berbelalai Panjang, kisah Deni Manusia Ikan, Si Siti Sirik.
Ben selalu juara kelas. Konsentrasi penuh belajar, sungguh menjadi perhatian ayah. Ben pun lulus masuk ujian saringan IPB, Institut Pertanian Bogor.
Usai wisuda, Ben bekerja di agribisnis. Perusahaan ekspor buah nanas kalengan. Sehari-hari fokus pada kualitas produksi buah nenas. Mendampingi pekerja di perkebunan nanas di Sumatra.
Hanya dalam hitungan bulan saja Ben bekerja di PT. Abc ia pindah ke perusahaan internasional mesin berat, berkantor pusat di Jepang. Ben telah bekerja di perusahaan ini puluhan tahun.
Anggapan sarjana jaman baheula
Tiba giliranku masuk kuliah, ayah tak terlalu cerewet karena saya penurut. Ia bersikeras agar saya masuk fakultas hukum.
"Belum ada SH di keluarga besar", begitu ujarnya. SH maksudnya sarjana hukum.
Dahulu sewaktu studi, gelar itu penting. Ya, bahkan maha penting! Orang bergelar sarjana, terpandang, bernilai dan ketara banget profesionalitasnya.
"Itu putrinya Bu Darmin, dia sarjana lho Jeng, baru wisuda" menguping percakapan ibuku di telpon.
Sarjana itu terpandang. Ukuran kekayaan tak masalah. Asal anak-anak menjadi sarjana, itulah keluarga unggulan. Kira-kira bahasanya begitulah di jaman itu, anggapan dimasa lalu.