Pagi itu kota diguyur hujan deras disertai tiupan angin kencang. Sepanjang perjalanan ke airport, tak luput gencarnya kabar penyebaran virus.
Kulihat seorang penumpang di belakang kursi, sejak boarding terbatuk-batuk. Entah batuk biasa atau alergi, cukup mengganggu. Ku sabarkan diri, ia perlu ditolong.
Setahun sudah, seluruh aktifitas dilakukan di rumah. Slogan #bekerjadirumah tidak lagi menggiurkan usai berbulan-bulan dijalani. Kita mulai mencari celah kesenangan ditengah kesibukan.
Kikuk berkumpul kembali bersama keluarga
Kami sekeluarga bertiga saat itu. Keadaan canggung ketika berkumpul tanpa buah hati pertama. Aku dan si dia yang kadang sensitif oleh karena keadaan terkurung berhari-hari, terpaksa harus manteng di rumah. Sesuatu yang tidak biasa kami lakukan. Si dia ialah belahan jiwaku.
Pernah aku berpuasa ngobrol. Berhenti mengontak kerabat, kawan dan kolega. Selama 10 hari nyaris tanpa suara. Tujuannya mengetes diri. Kira-kira sanggupkah mulut diam, tanpa suara?
Geli juga mengingat ide absurd itu. Usai puasa tanpa suara, kata-kata terbata-bata, agak sulit diajak bicara lancar.
Terbayang bertapa di gua sendirian. Kadang ide-ide aneh muncul kala kita tak tahu apa yang akan diperbuat. Ini uji coba sekaligus penasaran, bukan uji nyali.
Titik balik terpenting dalam sejarah kala aku dipertemukan dengan Kompasiana.
Sejak itu, hari-hari menyenangkan. Aku langsung menulis, membaca. Perasaanku masuk ke dalam dunia lain yang tak pernah terbayang.
Bahasaku sederhana dan minim. Betapa senang saat pembaca mengerti tulisanku. Kawan, kolega, klien terdekat yang mengenalku seolah tak percaya.
Work hard, play harder
Aku mulai meniadakan pertemuan, percakapan dengan siapapun. Pasalnya tiada bahasan penting. Bila percakapan seputar keluhan, bukankah kita semua dalam keadaan sukar? Kami memiliki langit yang sama.