Bergegas saya merapikan isi tas koper setelah media mulai dihebohkan berita virus corona. Jena yang kusuruh membeli 5 masker untuk stok hanya membawa 1 buah karena habis terjual di apotek.
Di dalam pesawat menuju Jakarta, seorang penumpang tepat di belakangku terbatuk-batuk sepanjang perjalanan. Untung saya memakai masker.
Hari itu adalah tepat hari ke 29 saya bekerja di bulan Februari tahun 2020. Waktu tersingkat dalam riwayat hidupku selama bekerja di luar kota. Entah mengapa ada dorongan untuk memaksakan diri kembali ke Jakarta padahal bosku melarang pergi.
Namun segala tindakan adalah ibadah, saya ikuti kata hati sambil berdoa. Segala yang Allah ijinkan terjadi itulah jalan terbaik dari setiap langkah hidupku. Toh pekerjaan ini sangat mudah kudapat karena kemurahanNya.
Dua hari setelah itu, penyebaran virus covid telah terdeteksi dengan ditemukannya 2 orang penderita di Depok.
Hotel-hotel limbung, bagai perahu oleng di tengah lautan. Satu persatu layar tertutup, yang tetap bertahan yaitu mereka yang kuat berpijak pada perahu. Sebagian besar hotel tutup sementara, tapi ada pula yang menutup permanen. Pengusaha terpuruk.
Beberapa minggu berikutnya, negara jiran lock down. Jakarta PSBB. Tiba giliran sang suami limbung sebab ia baru saja mendarat di Singapore dari Beijing. Tiada hari tanpa telpon singkat dengannya, saling menanyakan kabar terkini. Begitupun kami saling memberi kabar dengan putra sulung di Sao Paulo.
Hampir 10 bulan kami tidak bepergian apalagi melancong. Keperluan kurang penting dapat ditunda. Seluruh kebutuhan rumah, sebisanya dilengkapi membeli secara online.
Penat, lelah diri ini, namun kami tidak menyerah, ada Allah yang menopang tangan agar tidak jatuh tergeletak. Hidup ini tidak gratis, kami bayar semampunya dengan kekuatan Ilahi. Inilah harga yang mesti dibayar.