Tia membaca ulang cerpen "Karir Bukanlah Segalanya" di majalah Mature kepunyaan Nera yang baru dibeli kemarin. "Persis kisah hidupku, nama-namanyapun sama", gumamnya. Tertegun beberapa saat, lalu menyimpannya kembali di kamar Nera.
Tia kadang mencuri waktu masuk ke kamar putrinya. Mengintip apa saja yang ada di kamar. Ia kuatir ada sesuatu yang luput dari perhatiannya. Tia tidak protektif, hanya kasih sayang yang berlebihan.
Menyontek karir sang ibu, akhirnya Nera mengikuti jejak Tia. Setelah lulus Sekolah Tinggi Pariwisata di Bandung, ia sempat bekerja di Hotel Amor Jakarta pada bagian FB produk hanya 2 tahun saja. Keahlian membuat kue-kue pastry mencetaknya sebagai pemenang ke-1 pada lomba pastry dari Festival Kuliner yang diadakan PHRI tahun lalu.
Bayi mungil kini beranjak dewasa. Putri semata wayang saat kecil ditimang-timang kini hampir meninggalkannya dan Wito, suaminya.
Malam nanti sedianya Tia akan berunding dengan Wito tentang keputusan mengundurkan diri dari Hotel Luxury setelah 15 tahun bekerja. Hotel tempat dirinya mengabdi selama ini akan ditinggalkan. Tingkat hunian yang selalu tinggi, membuat enggan rasanya melepaskan.
Ketika Nera masuk SD kelas 1, Tia menyanggupi tawaran pemilik hotel untuk bekerja kembali. Pak Arfan sang GM telah berpindah hotel ke Surabaya karena itu pemilik hotel menawarkan jabatan general manager pada Tia. Kali ini keputusannya telah bulat, ia harus undur diri.
Didepan cermin pagi tadi, Tia menyisir rambut, tampak beberapa helai rambut putih ditengah rambutnya yang kecoklatan. Betapa waktu cepat berlalu, uban mulai tumbuh, tampak cekungan kantong mata menggayut, kulit wajah tak sekencang kemarin. Ia mengusap helai demi helai rambutnya.
"Nova, saya akan menghadap Ibu, jam berapa Ibu Elisa bersedia?" tanya Tia pada Nova, sekertaris owner.
"Saya kabari nanti ya Bu, Ibu Elisa sedang rapat dengan Ketua PHRI" sahutnya
"Bila Ibu Elisa bersedia, jam 4 saya ke kantornya ya, trims Nova"