Perempuan itu sekarang gemar mandi. Bukan, ini bukan karena ia punya alergi sehingga memang harus rajin mandi sepulang kerja. Ia gemar mandi untuk meluapkan apa yang disembunyikan.
Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Sesampainya di rumah, perempuan yang bermata sayu itu bergegas mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Menyalakan keran dan mulai membasahi diri. Keran diputar ke kanan, air semakin mengalir deras. Bak mandi yang telah terisi penuh dibiarkan terus terisi. Suara air kompak terdengar, dari keran, bak mandi, dan sepasang matanya.
BYUR! BYUR! BYUR!
Gerakannya semakin membabi buta. Ia guyurkan air dari ujung rambut dan membiarkan air itu menyatu dengan air matanya. Ya, hanya di kamar mandi ia dapat menangis sekencang-kencangnya. Berharap tak ada yang tahu bahwa ia sedang menutupi tangisannya. Sayangnya, sang cicak yang berada di sudut kamar mandi menjadi penonton setia setiap malam. Bahkan, tanpa disadari sang kecoa yang berada di belakang toilet pun bisa membedakan: air kamar mandi dan air mata.
***
Pk 02.30 WIB
“Ma, mau ke mana?” Kutanya perempuan itu yang beranjak dari samping tidurku.
“Mau mandi, nak…”
“Tadi kan udah…”
“Sumuk …”
Tak ada alasan yang berbeda dari yang sudah-sudah. Bahkan, di saat hujan mengguyur malam pun ia rasa tak mengundang dingin. Mungkin ia sudah mati rasa.
BYUR! BYUR! BYUR!
Suara air yang ia hujankan ke tubuhnya semakin deras. Aku yakin tak kalah deras dengan air matanya yang coba habiskan. Pikirnya, tak ada yang tahu apa yang ia lakukan. Ternyata, ia salah.
Kumiringkan badanku. Menyalakan lampu meja hingga berpendar sinar oranye yang kini mulai meredup. Kucoret angka 18 di kalender yang ada di sampingnya. Pertanda bahwa hari sudah berganti menjadi Jumat, hari ke-19 di bulan ini. Pertanda bahwa hari ke-39 kami bertahan tanpamu. Pertanda bahwa hari ke-39 perempuan itu selalu punya waktu untuk membasahi diri berkali-kali di kamar mandi.
“Sampai kapan kau harus seperti ini, mama…?” Tanyaku tak sanggup hingga berucap lugas. Dadaku sesak. Tanpa sadar, lagi-lagi air mata selalu mudah mengalir jika aku memiringkan kepala. Tak mau semakin deras, kutelangadahkan kepala menghadap langit-langit kamar. Menitipkan pesan untukmu padaNya.
***
“Oh, sudah tanggal 19 to…” dua puluh menit kemudian, perempuan itu kembali di samping tidurku. Ah, kupikir, tak ada yang tahu apa yang aku lakukan. Ternyata, aku salah.
“Iya, ma…” kumiringkan tubuhku kembali, mematikan cahaya yang sama sekali tak memberi kehangatan pada ruangan ini.
Perempuan itu berganti posisi. Kini kami justru saling beradu punggung, layaknya tak ada lagi ucapan untuk melanjutkan mimpi.
“Jangan lupa sebar undangan untuk 40 hari bapak, ya Lingga…”
“Iya, ma…”
“Selamat tidur, ndhuk…”
“Selamat melanjutkan istirahat, ma…”
Kuhela napas panjang. Begitu juga dengannya. Pertanda bahwa kami harus melanjutkan mimpi. Bukankah mimpi adalah bagian dari harapan? Bukankah harapan adalah satu-satunya penguat agar manusia mampu bertahan untuk hari esok?
Ruang ini kembali gelap. Semilir angin dini hari merambat lewat celah pintu dan jendela kamar. namun, itu tak cukup mampu membuat kami kedinginan. Ya, kami berdua kini telah mendapatkan kehangatan. Meski hanya bagian pipi kami yang lebih dulu merasakannya.
Kepergianmu tetap memberikan kehangatan untuk kami berdua, bapak…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H