BYUR! BYUR! BYUR!
Suara air yang ia hujankan ke tubuhnya semakin deras. Aku yakin tak kalah deras dengan air matanya yang coba habiskan. Pikirnya, tak ada yang tahu apa yang ia lakukan. Ternyata, ia salah.
Kumiringkan badanku. Menyalakan lampu meja hingga berpendar sinar oranye yang kini mulai meredup. Kucoret angka 18 di kalender yang ada di sampingnya. Pertanda bahwa hari sudah berganti menjadi Jumat, hari ke-19 di bulan ini. Pertanda bahwa hari ke-39 kami bertahan tanpamu. Pertanda bahwa hari ke-39 perempuan itu selalu punya waktu untuk membasahi diri berkali-kali di kamar mandi.
“Sampai kapan kau harus seperti ini, mama…?” Tanyaku tak sanggup hingga berucap lugas. Dadaku sesak. Tanpa sadar, lagi-lagi air mata selalu mudah mengalir jika aku memiringkan kepala. Tak mau semakin deras, kutelangadahkan kepala menghadap langit-langit kamar. Menitipkan pesan untukmu padaNya.
***
“Oh, sudah tanggal 19 to…” dua puluh menit kemudian, perempuan itu kembali di samping tidurku. Ah, kupikir, tak ada yang tahu apa yang aku lakukan. Ternyata, aku salah.
“Iya, ma…” kumiringkan tubuhku kembali, mematikan cahaya yang sama sekali tak memberi kehangatan pada ruangan ini.
Perempuan itu berganti posisi. Kini kami justru saling beradu punggung, layaknya tak ada lagi ucapan untuk melanjutkan mimpi.
“Jangan lupa sebar undangan untuk 40 hari bapak, ya Lingga…”
“Iya, ma…”
“Selamat tidur, ndhuk…”