"Kamu gagal lagi?", katanya memulai pembicaraan.
"Hm, bisa dibilang seperti itu. Mungkin benar kalau aku terkena kutukan dan gak akan pernah mendapatkan cinta sejati", kataku sambil memukul bagian kiri dadaku 3 kali dengan tangan kanan. Rasanya sakit, menusuk sendi-sendi tulangku. Bukan pukulannya, tapi rasanya. Rasa sakit yang timbul dari seseorang.
"Mungkin kamu salah orang lagi" , katanya dengan pelan dan membuatku tersentak. Sedikit tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Apa dia bercanda?
"Salah lagi? Sudah sekian lama menutup semuanya dan mencoba menikmati masa kesendirian. Mengobati luka selama waktu berjalan kemaren tapi masih salah lagi?" , dengan air mata mengalir perlahan aku menggigit bibir. Ya Tuhan, perlukah aku mendengar seruanMu kalau ini hanya lelucon? Aku masih tidak terima dengan "salah lagi" itu yang baru saja kudengar.
"Kamu berhak menangis. Kamu berhak marah. Kamu berhak menyesal. Aku tahu sakit hatimu. Aku mengerti perasaanmu. Kuatlah, kamu bisa bertahan", katanya lagi. Menyemangati ku dan aku tahu hanya itulah yang bisa dia lakukan ketika aku terpojokkan seperti ini.
"Terima kasih. Walaupun hanya ini yang bisa kamu berikan untukku disaat seperti ini. Tapi tolong dengarkan, perhatikan dan coba rasakan apa yang benar-benar aku alami sekarang" , kataku dengan sedikit memohon.
"Ceritakanlah. Ungkapkan semuanya denganku. Aku akan mendengar, memperhatikan dan mencoba merasakan kisahmu", kata-katanya semakin membuatku semangat untuk memulai cerita.
"Ya, ceritanya dimulai dengan.........."
Aku menceritakan semuanya. Semua dimulai dengan kisah indah dan berakhir bencana. Ah, aku banyak sekali memuji dan menilai secara luar biasa sosok yang aku ceritakan itu. Dari urutan wajah senyum dengan membelanya hingga berujung wajah sedih dan kemudian menangis lagi. Sosok ini jujur saja, sosok yang aku belum pernah bertemu sebelumnya. Maksudnya, tipe yang seperti ini dan jenis hubungan yang kami jalani, aku belum pernah merasakan sebelumnya. Jadi aku merasa mungkin dia adalah yang tepat. Entahlah karena dia yang belum dewasa atau aku yang terlalu keras, insiden kecil dibawa sampai menjadi hal besar. Kata maafku yang tak terhitung saja sudah tak ada gunanya. Aku benar-benar sudah menyayanginya sepenuh jiwa dan raga, dan sudah mengakui salah tapi sudah tidak bernilai sama sekali. Sosok itu sungguh membuatku bertanya dalam hati berkali-kali, apa Tuhan mengirim dia hanya untuk menyakiti ku lagi yang baru saja sembuh dari trauma dan luka hingga menerima luka baru(lagi)? Rasanya seperti sudah jatuh tapi ada yang membantuku berdiri namun ternyata dia membuatku tersandung dan tertimpa tangga.
Aku mengakhiri cerita itu setelah lamanya dia mendengarkan. Pendengar yang sangat baik selama ini kala aku bahagia maupun saat sedih seperti sekarang.
"Aku tahu kamu keras. Kamu keras kepala. Kamu mudah marah. Kamu mudah emosi. Tapi yang perlu di ingat, sekali kamu sudah menyayangi sesuatu, kamu akan mementingkan kepentingan sesuatu itu melebihi kepentinganmu sendiri. Itulah salah satu kelebihan sekaligus kelemahanmu. Kamu mudah terlalu peduli sehingga kamu mudah kecewa bila dikecewakan. Kamu mampu bertahan seberat dan sesakit apapun yang kamu hadapi. Orang yang sebenarnya bisa mendapatkan hatimu adalah orang yang paling beruntung. Aku tahu kamu luar dalam melebihi siapapun. Aku tahu kamu dan melihat kamu baik bahagia maupun sedih. Bertahanlah, aku tahu kamu kuat dan wanita yang hebat. Tak ada yang seperti kamu, kamu unik dan luar biasa" , panjang sekali kata-katanya kali ini. Aku sedikit membuat senyuman menyambut semangat yang dia berikan tadi.
"Sekali lagi terima kasih. Aku sangat lega sudah menceritakan semuanya padamu. Dan kata-katamu barusan membuatku bangun lagi. Iya, aku wanita yang hebat, terima kasih sungguh aku ucapkan. Kamu yang terbaik dalam menyemangatiku melebihi siapapun di dunia ini" , aku langsung menyeka air mata yang sudah dari tadi terbuang dan sungguh lega. Tangga yang menimpaku tadi aku singkirkan dan langsung berdiri lalu mengobati luka dengan plester.
"Baguslah kalau aku lagi dan lagi membuatmu bangun dari kesedihanmu. Selamat masuk hari yang baru, hai wanita yang hebat. Ada saatnya kamu lepaskan plester itu ketika kamu sudah merasa lukamu sudah sembuh. Biarkan plester yang kamu sendiri memasangnya akan menjadi saksi kuatnya kamu. Semangat!" , kata terakhirnya dan aku balas dengan anggukan kepala.
"Oke!!", aku berkata dengan semangatnya. Saat itu juga aku meninggalkan cermin. Cermin yang menjadi sarana curahan hatiku tadi. Terima kasih untuk cermin yang menjadi sarana antara aku dan dia untuk berkomunikasi. Dia memang terbaik. Tidak ada yang lebih baik daripada diri sendiri. Semangat dan pendengaran yang lebih baik dari siapapun yang aku miliki di dunia ini. Yang tak pernah berbohong, tak akan menyakiti dan tak akan menyesatkan. Suaranya dan pendapatnya tak akan salah. Aku mencintai diriku sendiri apapun kata orang yang mengatakan aku dan membicarakan ku dibelakang dengan buruknya. Terima kasih, diriku, kamu luar biasa :)
N.B : Percayalah pada dirimu sendiri. Jika dunia tidak mau mendengar dan menjatuhkanmu, dirimu yang tahu dan memberi semangat.
This is me,
CECIL ^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H