Teh hadir dalam kehidupan manusia sebagai minuman yang sehari-hari kita temui. Berawal sebagai obat, teh ternyata memiliki segudang makna selain dimanfaatkan guna alasan medis maupun hanya sebagai minuman semata. Pada abad kedelapan, teh memasuki dunia literatur -- khususnya dunia puisi -- di Tiongkok sebagai salah satu ranah hiburan klasik yang sopan.Â
Sekelompok masyarakat di Jepang bahkan memandang teh sebagai suatu hal yang memicu kemurnian serta harmoni yang tidak dapat manusia dapatkan dari aktivitas lainnya.Â
Di samping itu, teh dinyatakan sebagai dasaran filosofis yang menyerupai Taoism, yang mana menghimbau manusia untuk menerima segala ketidaksempurnaan yang dimilikinya guna menanam keinginan manusia untuk menghadapi segala sesuatu yang sesungguhnya memungkinkan dalam hal yang tidak memungkinkan, yakni kehidupan itu sendiri.Â
Negara-negara Barat memandang kegunaan teh hanya sebatas minuman saja, sehingga apakah benar suatu hal yang sederhana seperti teh dapat menjadi sebuah fundamen filosofis bagi makhluk yang kompleks seperti manusia?
Teaism pada dasarnya merupakan sebuah filosofi yang tumbuh dan berkembang secara terus menerus di Jepang, yang mana membuat Teaism berkaitan erat dengan kebudayaan Asia, khususnya Jepang sendiri.
Fokus peminum teh saat ia memusatkan segala konsentrasi dan indranya hanya untuk teh yang sedang dicicipi maupun diminumnya merupakan salah satu rasa dan emosi yang ditekankan dalam Teaism. Kegiatan ini berujung pada salah satu acara kebudayaan Jepang yang hingga kini eksistensinya masih kian dirayakan dan dikembangkan yaitu Japanese tea ceremony (upacara teh).Â
Para Teaists (pihak yang merayakan upacara teh) menghimbau manusia untuk terus menyadari dan mengapresiasi kehadiran akan keindahan, kemurnian, serta keharmonisan dengan mengajak manusia untuk berupaya dalam menemukan momen refleksi akan hidupnya  selama upacara minum teh Jepang ini berlangsung. Upacara ini seringkali dianggap tidak logis atau tidak masuk akal oleh negara-negara Barat yang mana menggunakan teh hanya sebatas sebagai minuman saja.Â
Oleh sebab itu, banyak terjadi skeptisisme terhadap keberadaan Teaism ini sendiri yang menggunakan teh sebagai landasan utama dari pemikiran hidup.
Akan tetapi, yang perlu disadari ialah kebingungan dunia Barat akan Teaism ini didasari oleh adanya perbedaan yang cukup signifikan antara kebudayaan Eropa dengan kebudayaan Asia.
Contohnya saja ialah ketika masyarakat Barat memandang perang dan kekuatan militer Jepang sebagai hal yang wajar, namun prosedur upacara teh sebagai hal yang tidak wajar. Hal ini terjadi akibat adanya kesamaan latar belakang di mana negara Barat pun mengalami perang dan kian meningkatkan kemampuan militernya, yang mana Jepang juga mengimplementasikan hal yang sama.
 Di sisi lain, masyarakat Barat sudah terbiasa menerima konsep teh sebagai minuman saja, tidak untuk sebuah upacara atau bahkan sebagai landasan filosofis. Bukan berarti dengan adanya perbedaan adat dan kebiasaan, maka suatu perihal tertentu akan secara otomatis dianggap tidak valid. Meskipun akan ada beberapa orang yang tidak sejalan dengan pemikiran Teaism, bukan berarti Teaism ini merupakan perspektif yang salah dan atau tidak layak dipercayai.Â