[caption id="attachment_406001" align="aligncenter" width="300" caption="Wakhidin No Full Name (dok.cech)"][/caption]
Hari ini tanggal 28 Maret 2015, saya kembali melaut bersama kapal tercinta kami Lu Shung 282 berbendera Tiongkok. Baru kemarin hari saya merasakan hidup bergairah kembali setelah sebulan lebih saya merasakan hidup ini tidak adil untuk saya dan keluarga. Sepertinya Tuhan sedang memberikan ujian hidup yang sangat berat kepada saya dan keluarga. Mengapa hal ini dapat terjadi ? Sebelum saya cerita lebih jauh maka saya akan memperkenalkan diri saya.
Perkenalkan nama saya Wakhidin. Ya hanya Wakhidin, singkat, padat dan berisi seperti tubuh saya. Walaupun saya kadang bingung mengapa di form pengiriman dari Western Union, nama saya tertulis Wakhidin No Full Name. Tidak tahu mengapa tertulis demikian. Rupanya hanya menjelaskan kalau saya hanya punya nama Wakhidin dan tidak ada nama kedua di belakang Wakhidin. Itulah pemberian orang tua saya, seorang petani yang tangguh di sebuah kampung di Indramayu. Maklumi ya saya tidak bersekolah terlalu tinggi seperti orang-orang di kota besar. Jadi saya kurang mengerti bahasa Inggris.
Oh ya, saya memiliki satu istri, namanya Casiroh Binti Kalis dan satu anak perempuan. Untuk menghidupi keluarga maka saya memberanikan diri untuk pergi berlayar menjadi seorang anak buah kapal (ABK). 2 tahun saya jalani sebagai ABK di Taiwan. Dengan pengalaman 2 tahun tersebut maka saya mengerti sedikit bahasa Taiwan. Kemudian saya mendapat tawaran untuk melaut ke Fiji. Pengalaman melaut ke Fiji inilah yang membuat hidup saya berubah dari harapan menjadi bencana. Kok bisa ? Begini ceritanya.
Sekitar 20 bulan yang lalu, saya berangkat melaut ke Fiji dari pelabuhan Hongkong. Ternyata kapal kami tidak langsung menuju ke Fiji tapi keliling dunia bahkan sampai ke Perancis. Di perairan Perancis inilah, kapal kami dicegat oleh Polisi Laut Perancis yang dipimpin oleh seorang Kapten Wanita yang cantik. Kami sempat merasa kuatir kalau kapal dan kami ditahan di Perancis. Ternyata polisi Perancis hanya mencari satu jenis ikan langka yang dilindungi oleh pemerintah Perancis apakah kami telah menangkapnya. Ternyata yang dicari adalah ikan Hiu Manta (orang Indonesia menyebutnya). Setelah tidak ditemukan jenis ikan tersebut, kamipun dibebaskan berlayar kembali. 2 jam yang mencekam bagi kami.
19 bulan berlalu cepat dan sampailah kami di pelabuhan King Wharf, Suva Harbour, Fiji. Selama itulah saya tidak pernah kontak dengan istri dan keluarga saya. Inilah saat yang tepat untuk menelpon istri karena kapal akan ngedock selama sebulan di Fiji. Saya pikir akan sangat menyenangkan dapat memberi kabar tentang saya kepada istri dan keluarga. Tetapi yang saya dapatkan bukanlah hal yang menyenangkan. Setelah istri saya mengatakan belum menerima gaji selama 19 bulan. Sudah lebih setahun perusahaan yang mengirim saya melaut di Pemalang dinyatakan bangkrut dan kantornya sudah tutup serta pemilik menghilang entah kemana.
Bagai tersambar geledek di siang hari, badan saya langsung lemas dan hidup ini terasa hampa. Untuk apa saya bekerja selama itu kalau tidak menghasilkan sama sekali. Apalagi tahu, istri saya sampai pinjam uang rente untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Laki-laki macam apa saya ini sampai membiarkan istri dan keluarga hidup terlunta-lunta.
Setelah 2 hari tidak ada lagi semangat hidup, tiba-tiba seorang teman menyarankan untuk menghubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Fiji untuk konsultasi dan meminta bantuan serta menanyakan kepada agen pemilik kapal yang berkedudukan di Suva, Fiji. Akhirnya saya mengikuti saran tersebut walaupun saya tidak berharap sekali.
Keesokan harinya saya mendatangi kantor KBRI. Saya bertemu dengan seorang pejabat konsuler. Kemudian saya, pejabat konsuler dan satu bapak gendut mendatangi kantor agen pemilik kapal di King Wharf, Suva. Kedatangan pertama kami tersebut tidak ada hasil sama sekali karena agen pemilik kapal harus menghubungi agen di Taiwan yang merupakan mitra perusahaan yang mengirimkan saya untuk mengetahui tentang nasib gaji saya selama 19 bulan ini.
Hari demi hari saya lalui tanpa harapan karena tidak ada kabar sama sekali dari Taiwan tentang nasib gaji saya. Berulang kali saya menelpon KBRI dan bapak gendut untuk menanyakan perkembangan gaji saya. Terasa sekali saya sudah tidak bersemangat lagi untuk berlayar dan sempat meminta pulang kepada KBRI dan bapak gendut tersebut. Tapi kalau saya pulang tanpa bawa uang, bagaimana saya harus menghadapi istri dan keluarga. Pada pertemuan dua sempat saya ungkapkan untuk minta pulang tapi bapak gendut menyarankan untuk bersabar sambil menunggu berita dari Taiwan.
Pada pertemuan ketiga barulah terungkap bahwa pemilik kapal telah mengirimkan gaji saya kepada agen Taiwan dan agen Taiwan juga telah mengirimkan uang kepada perusahaan saya di Pemalang. Dari situlah terungkap pula mengapa gaji saya tidak sampai ke istri. Rupanya istri saya telah salah memberikan nomor rekening bank. Bukan nomor rekening yang diberikan tetapi nomor seri buku tabungannya. Kok bisa ? Banyak orang bertanya seperti itu. Istri saya memang wanita lugu dan tidak sekolah sehingga tidak mengerti mana yang nomor rekening dan nomor seri buku. Ya sudah, lengkaplah penderitaan dan beratnya perjuangan saya untuk mendapatkan kembali gaji saya.
Ada 2 opsi yang ditawarkan oleh agen pemilik kapal yaitu membelikan tiket pulang ke Indonesia plus uang bonus 200 FJD dengan harapan saya sendiri yang mengejar keberadaan pemilik perusahaan di Pemalang atau meneruskan sisa waktu kontrak kerja saya selama 4 bulan dengan gaji diberikan langsung di atas kapal sambil menunggu kabar keberadaan pemilik perusahaan di Pemalang. Saya bingung sekali sampai mengeluarkan air mata, awalnya saya menerima untuk meneruskan berlayar tapi saya takut karena beratnya cobaan ini membuat saya tidak konsentrasi bekerja dan dapat membahayakan hidup saya di laut. Kemudian saya memutuskan untuk pulang ke Indonesia dengan membawa uang sedikit sekali. Terus buat apa saya bekerja selama 19 bulan ini. Benar-benar kalut pikiran saya. Akhirnya bapak gendut menyarankan saya menunda keputusan dan kembali bekerja di kapal yang sedang ngedok atau perbaikan mesin sampai kapal akan berlayar kembali.
Seminggu kemudian saya mendapat telepon dari pejabat KBRI untuk datang ke kantor agen pemilik kapal. Sesampainya di sana, sudah menunggu pejabat KBRI dan bapak gendut di dalam kantor. Setelah menunggu hampir 30 menit, datanglah seorang pria berwajah sipit dengan logat khas Taiwan. Rupanya pemilik kapal yang datang bersama seorang temannya. Pemilik kapal menjelaskan bahwa gaji saya selama 19 bulan dinyatakan raib dibawa kabur oleh pemilik perusahaan di Pemalang. Hal ini tidak seratus persen ulah mereka tetapi ada andil saya dalam memberikan informasi rekening bank yang salah sehingga ketika uang dikirimkan tidak sampai ke istri dan kembali ke rekening perusahaan. Prosedurnya adalah pemilik kapal di Tiongkok mengirimkan uang ke Taiwan. Taiwan mengirimkan ke Pemalang dan Pemalang mengirimkan ke Indramayu. Karena rekening saya salah maka uang kembali ke Pemalang dan sampai sekarang dinyatakan raib.
Duarrrr !!! Hancur sudah hidup saya. Bagaimana saya harus menjelaskan kepada istri. Lemas sekali badan ini. Sempat menangis saya dihadapan bapak-bapak di dalam ruangan tersebut. Saya sudah sempat meninggalkan ruangan tersebut, tapi tangan saya dipegang oleh bapak gendut.
Kemudian pemilik kapal meminta saya untuk meneruskan kerja dan menyelesaikan kontrak dengan syarat gaji saya selama 19 bulan akan ditanggung dan dibayarkan oleh pemilik kapal dan gaji saya selama sisa waktu kontrak akan dibayarkan di atas kapal.
Hah !!! Betapa kagetnya saya mendengar penjelasan dari pemilik kapal. Jadi gaji saya selama 19 bulan akan dibayar ?! Berulang kali saya bertanya kepadanya, apakah benar itu ? Ternyata benar adanya. Rupanya pemilik kapal sangat mulia hatinya. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh pemilik kapal bahwa hal ini sering terjadi. Tega benar ada orang membawa kabur hasil keringat orang lain yang berjuang mati-matian di tengah ganasnya laut. Ini semata-mata dilakukan karena kemanusiaan. Terima kasih Tuhan telah mengirimkan pemilik kapal yang baik hati. Walaupun demikian pemilik kapal sempat protes kepada saya karena 2 minggu ini saya tidak mau kerja dan hanya bermalas-malasan saja. Bagaimana mau semangat kerja kalau belum ada kejelasan nasib gaji saya.
2 hari sebelum kapal berlayar kembali, disaksikan oleh bapak gendut gaji saya selama 19 bulan diberikan oleh pemilik kapal. Langsung saya menghubungi istri tentang kabar gembira ini. Hari itu juga saya meminta bapak gendut untuk menemani ke Western Union agar uang tersebut segera dikirim ke istri di Indramayu. Alhamdulillah uang telah diterima dengan aman dan meminta ke istri agar segera melunasi hutang rente sebelum menjerat leher kami. Sungguh sabar bapak gendut menemani saya sampai waktu menjelang maghrib. Ucapan terima kasih berulang kali saya sampaikan kepada bapak gendut dan pejabat KBRI. Sebagai bentuk terima kasih, saya mengajak bapak gendut untuk makan-makan di restoran Malaysia. Baru kali saya merasa lapar sekali setelah sebulan lebih saya sudah tidak merasakan yang namanya lapar dan kenyang. Lahap sekali saya menyantap makanan sampai bapak gendut tertawa melihat mulut saya belepotan hehehehe...
Akhirnya seusai makan, bapak gendut mengantar saya kembali ke King Wharf. Sambil menunggu boat yang sering mengantar saya ke kapal, kami berdua menikmati indahnya pemandangan laut dengan awan gelap yang menunjukkan sebentar lagi malam akan tiba. Saya peluk erat bapak gendut sambil mengucap terima kasih sekali lagi dan berharap di lain waktu dapat bertemu kembali. Air mata kami berdua terurai, satu lagi saya mendapatkan saudara di negeri orang lain. Terus saja saya melambaikan tangan perpisahan kepada bapak gendut sampai tidak terlihat lagi oleh gelapnya malam.
[caption id="attachment_406002" align="aligncenter" width="700" caption="Indahnya pemandangan laut menjelang senja di King Wharf, Suva, 27 Maret 2015 (dok.cech)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H