" Kemane ?" logat melayu pria tersebut terucap.
" Brunei Hotel, Jalan Pemancha. " ujar istri saya yang memang hafal dengan alamat hotel tersebut.
" Ohhh, pusat kota itu. 25 Brunei Dollar "
" Tidak argometer Pak Ci ? " saya sedikit curiga.
" Di Brunei, Taksi tidak pakai argometer dan harga yang saya berikan sudah standar " jelas supir taksi tersebut.
" Okelah kalau begitu "
Ternyata perjalanan dari BIA menuju Brunei Hotel membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Sepanjang jalan supir taksi banyak tanya kepada kami sekaligus bercerita tentang situasi dan kondisi di Brunei Darussalam. Supir taksi sempat heran dan bertanya mengapa kami melakukan jalan-jalan ke negaranya. Diceritakannya bahwa jumlah penduduk Brunei berkisar 400 ribu orang, sepi suasananya, penduduk Brunei malah banyak yang pergi pesiar ke Indonesia, Kota Kinabalu, Kuching, Miri, Kuala Lumpur dan beberapa kota di Malaysia. Yang menariknya adalah jumlah taksi seluruh Brunei Darussalam yang tercatat hanya 35 unit tapi yang aktif beroperasi 22 unit saja. Katanya jangan harap setelah belanja di Mall akan mudah mendapatkan taksi kecuali memanggilnya via telpon kalau tidak ingin menunggu 2 jam. Sebagian besar penduduk Brunei memiliki mobil dan jarang yang berjalan kaki. Mereka lebih memilih untuk membeli mobil daripada motor karena harga keduanya tidak berbeda jauh. Malah sarannya lebih baik menggunakan bus kalau jalan-jalan mengelilingi Brunei karena lebih murah yaitu 1 Brunei Dollar (kemanapun rutenya tarifnya sama).
Tanpa terasa kami tiba di depan Brunei Hotel, salah satu hotel tertua di Brunei Darussalam. Sambil menurunkan barang kami dan membawanya ke dalam hotel, supir taksi nan ramah tersebut memberi sebuah kartu nama. Tertulis nama Azman dengan beberapa nomer telpon. Sebelum pergi, Pak Azman berpesan kalau mau pergi kemana-mana dapat menghubunginya.