Mohon tunggu...
Cecep Gaos
Cecep Gaos Mohon Tunggu... Guru - Guru pecinta literasi

Guru Kota Padi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Fuzzy Logic ala Indonesia

22 Mei 2017   10:37 Diperbarui: 23 Mei 2017   13:46 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemikiran Fuzzy Logic (Logika Fuzzy) muncul sebagai antitesis dari pemikiran Classical Logic (logika klasik) yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh Aristoteles. Logika klasik dirancang sebagai sistem logika bivalen (dua tingkat) yang  memandang sesuatu dengan ukuran -misalnya- benar atau salah, hitam atau putih, baik atau jahat, dan lain sebagainya. Sementara Fuzzy Logic adalah pendekatan teori grup matematika yang pertama kali diperkenalkan oleh Zadeh (1965) yang memandang bahwa keanggotaan suatu individu dalam sebuah grup tertentu tidak bersifat biner seperti dinyatakan oleh logika tegas (Widya, 2014). Dengan kata lain, fuzzy logic memandang sesuatu dengan berbagai tingkatan nilai (tidak tegas). Jadi, dengan pemikiran fuzzy logic tidak ada sesuatu yang –misalnya- memiliki nilai kebenaran mutlak 100% dan kesalahan 100%, atau tidak ada sesuatu yang hitam 100% ataupun putih 100%.  

Jika pemikiran fuzzy logic ini dihubungkan dengan kehidupan perpolitikan di Indonesia, nampaknya Indonesia menganut faham politik fuzzy logic. Politik fuzzy logic adalah politik yang berlandaskan nilai-nilai semu (tidak tegas) dan cenderung bersifat politik kepentingan.  Meskipun setiap partai politik memiliki flatform dan ideologi masing-masing yang berbeda dan khas, namun dalam praktiknya hal ini bersifat cair. Hal ini bisa dilihat –misalnya- dari perilaku partai politik dalam melakukain koalisi, baik dalam koalisi pada pemilihan presiden (pilpres) maupun pemilihan kepada daerah (pilkada).

Kita coba ambil contoh koalisi yang terjadi pada pilkada serentak 2017 yang lalu. Misalnya, dalam pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta, partai Gerindra dan Golkar berada dalam wadah koalisi yang berbeda. Partai Gerindra mendukung pasangan nomor urut 3 (Anies-Sandi), sementara partai Golkar mendukung pasanagan nomor urut 2 (Ahok-Djarot) (Sumber). Tetapi dalam pilgub Banten, Partai Gerindra dan Golkar berada pada wadah koalisi yang sama, yaitu koalisi yang mengusung pasangan Wahidin Halim – Andika Hazrumy (WH-AH) (Sumber). Di dalam politik tidak ada koalisi yang bersifat permanen. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran baik menurut politik itu bersifat relatif dan semu, begantung pada peta politik dan kepentingan. Kepentingan dalam hal ini bisa diartikan positif maupun negatif.

Selain dalam hal koalisi, praktik politik fuzzy logic juga terjadi pada cara memandang dan bersikap terhadap suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Misalnya adanya pandangan dan sikap yang berbeda dari PDIP terhadap kebijakan kenaikan BBM yang terjadi pada era pemerintahan SBY dan Jokowi (Sumber). Lagi-lagi tentu saja hal ini terjadi karena adanya faktor kepentingan, baik kepentingan dalam pengertian positif maupun negatif.

Namun demikian, dengan politik fuzzy logic ini,  diharapkan tujuan demokrasi Indonesia dapat tercapai, yaitu terciptanya kehidupan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.



Penulis: 

Cecep Gaos, S.Pd

Guru SD Puri Artha, Pegiat Literasi Jawa Barat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun