Waktu menunjukkan pukul 00.13 WIB ketika Dimas pamitan ke teman-temannya untuk pergi ke 13th Barber Shop yang berada di ujung sebuah gang yang nampak di kanan kirinya berjejer rumah-rumah kumuh di kawasan Jakarta Timur. Dimas dengan berat hati meninggalkan keasyikan bersama teman-temannya karena teringat bahwa esok hari dia harus menemui klien perusahaannya, sementara kondisi rambut, janggut dan kumisnya sudah mulai tidak enak dipandang mata karena sudah cukup lama tidak bercukur. Dengan tergesa-gesa Dimas pamitan kepada teman-temannya sambil mengambil motor Ninjanya yang diparkir berjejer dengan motor-motor teman-teman lainnya: “Bro, sorry gua harus pergi. Gua mau potong rambut ame jenggot gua dulu. Gua lupa, besok gua mau nemuin klien perusahaan gua, sorry yaa.”
“Broo, lo mau dicukur di mana tengah malem gini, udah pada tutup tau?” Dika bertanya setengah berteriak karena Dimas sudah agak jauh meninggalkan teman-temannya. Sambil memalingkan badan dan menyorongkan kedua tangan di mulutnya Dimas menjawab berteriak: “Di The 13th Barber Shop, brooo. Kata temen gua di sana masih bukaaa” Mendengar jawaban Dimas, Dika bergumam penuh kekagetan dan ketakutan sambil mengarahkan pandangannya ke teman-temnnya: “Hah, The 13th Barber Shop?” “Emangnya kenapa Dik?” Tanya Irwan penuh heran.
“Lu pade baca koran minggu kemaren kagak?” Tanya Dika. “Yang mana, bro?” Jawab Irwan penuh penasaran. “Itu bro, ada orang yang meninggal di Kamar Mandi di The 13th Barber Shop di Kawasan Jakarta Selatan. Di lehernya ada luka sayatan. Gua gak tau bener bunuh diri atau dibunuh orang. Kata pihak kepolisian sih karena bunuh diri. Emang sih gua gak tau gimana cerita sebenernya. Gua Cuma khawatir aje ame si Dimas. Perasaan gua jadi gak enak, bro.”
“Udahlah gak usah terlalu jauh lo mikirnya, itu kan kejadiannya jauh di Jakarta Selatan, bro” Angga berusaha meyakinkan. “Tapi bro, ini nama Barber Shopnya sama banget, The 13th Barber Shop” Timpal Dika penuh kekhawatiran. “Ah udahlah, jangan mikir yang macem-macem. Lu ada-ada aja, Dik. Udah kita lupain aja”
Sambil mengurangi kecepatan motornya Dimas mulai memasuki gang sempit dimana The 13th Barber Shop berada. Deretan rumah kosong dengan lampu-lampu redupnya seolah tertawa cekikikan menjulurkan tangan penuh kehausan menyambut kedatangan Dimas. Suara burung hantu sesekali terdengar membuat bulu kuduk berdiri dan merinding sekujur tubuh. Angin semilirpun menyusup setiap celah menusuk seluruh tubuh menambah keganjilan suasana malam itu.
Setelah sekitar 10 menit menyusuri gang sempit itu, Dimas akhirnya sampai di ujung gang. Di bangunan terakhir sebelah kanan, terpampang plang bertuliskan The 13th Barber Shop. Plang itu terlihat sudah usang. Tulisan-tulisannya sudah mulai pudar.
Lalu Dimas menghentikan laju motornya. Lalu dia memarkirkan dan menyandarkannya di parkiran sempit tepat di depan barber shop itu. Sambil turun dari motornya, pandangan Dimas menyisir seluruh bagian depan bangunan barber shop tersebut. “Mmmhh,Bangunan The 13th Barber Shop ini di luar perkiraanku” gumam Dimas sambil sesekali badannya bergidik. Fisik bangunanya sudah cukup tua. Cat-catnya sudah mulai pudar dan menghitam di beberapa bagian. Di salah satu pojok, terlihat sarang laba-laba dengan seekor laba-labanya yang cukup besar seakan sedang memperhatikan dan menantikan kedatanngan Dimas.
Kini Dimas berada tepat di depan pintu. Lalu dia mengetuk pintu itu dengan penuh keraguan. Ketukan pertama tidak cukup membuat sang penghuni datang menghampiri membukakan pintu. Suara burung hantu di kegelapan malam semakin keras terdengar. Dengan penuh rasa penasaran Dimas kembali mengetuk pintu itu untuk kedua kalinya sambil menempelkan mukanya mengintip ke dalam. Di depan pintu di ujung ruangan terlihat sesosok pria cukup tua menghampiri pintu depan yang aku ketuk. Rasa ngeri mulai menyelimuti setelah melihat sosok pria tersebut. Badannya cukup besar dan berkulit agak gelap. Tatapan matanya sangat tajam. Pakaiannya sedikit lusuh. Tingkah dan gerak-geriknya sangat aneh.
Lalu pria itu membukakan pintu. Tanpa banyak berkata-kata pria itu mempersilakan Dimas untuk duduk sambil menunjuk salah satu kursi di ujung ruangan. Dimaspun kemudian duduk tanpa banyak tanya. Kemudian pria tersebut mengambil peralatan cukurnya sambil memakaikan kain penutup ke bahu sampai menutupi setengah badan. Ternyata dia sendiri si tukang cukurnya.
“Pak, Cuma Bapak aja sendirian tukang cukurnya di sini?” Sambil memandang pria tersebut melalui cermin yang terpampang di depan, Dimas dengan penuh rasa takut dan keraguan memberanikan diri bertanya. Lagi-lagi tanpa berkata-kata pria tersebut menganggukkan kepala tanda mengiyakan. Lalu si tukang cukur itu mulai melakukan tugasnya memotong rambut Dimas sedikit demi sedikit.
Dimas dengan penuh rasa takut terus-menerus memandangi gerak-gerik si tukang cukur melakukan tugasnya. Sesekali bau amis tak karuan tercium di hidung, yang membuat Dimas semakin merinding. Entah dari mana bau amis ini berasal. Apa dari tubuh si tukang cukur atau dari pojok-pojok ruangan. Entahlah. “Bau amis apa ini, kok seperti bau amis darah” Gumam Dimas dalam hati penuh tanda tanya. Dimas berusaha mengusir perasaan-perasaan aneh itu. Tapi nampaknya Dimas tak bisa mengusirnya dari pikiran.
Hampir 15 menit berlalu, rambut Dimas mulai terlihat pendek dan rapi. Setelah melewati 20 menit, akhirnya rambut Dimas benar-benar selesai dipangkas. Lalu Dimas menunjuk kumis dan janggutnya sambil berkata: “Pak, cukur juga kumis dan janggutnya ya!”. Lagi-lagi si tukang cukur itu hanya menganggukkan kepala, namun dengan senyum aneh seperti menunjukan kegembiraan. Entah apa yang ada dipikirannya. Tidak menunggu lama, si tukang cukur itu pun langsung mengambil kuas dan sabun dan mengusap-usapkannya ke bagian kumis dan janggut Dimas. Lalu si tukang cukur mengambil sebilah pisau cukur. Dari cermin terlihat si tukang cukur mulai membuka lipatan pisaunya. Terlihat dengan jelas kilauan pisau tersebut oleh Dimas dan tampak sebercak darah kering menempel di ujung pisau tersebut. Dimas sudah tidak berani lagi bertanya-tanya ke si tukang cukur tersebut.
Tukang cukur tersebut mulai mencukur kumis Dimas dengan pisau cukurnya. Suatu saat entah disengaja atau tidak, pisau cukur tersebut menggores sedikit bagian atas bibir Dimas. Dimas pun mengaduh kesakitan. Lalu darahpun sedikit menetes dari bagian atas bibir Dimas. Lalu si tukang cukur pun mengusap darah tersebut dengan jari jempolnya seraya tangan kirinya menekan pundak Dimas seolah-olah supaya tidak berontak. Dari muka dan mulutnya sama sekali tidak terlihat dan keluar rasa penyesalan dan permohonan maaf. Malah dia menunjukkan roman muka senang sambil tersenyum kecil bahagia. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Akhirnya kumis Dimaspun selesai dia cukur.
Kini giliran janggut Dimas yang akan dia cukur. Si tukang cukur terlihat tambah senang. Namun kali ini dia terlihat lebih agresif. Dengan sedikit kasar dia menyandarkan kepala Dimas di penopang kepala yang terpasang di kursi cukur sambil menengadahkan leher Dimas ke atas. Sehingga terlihatlah bagian dalam leher Dimas. Lalu dengan kasar si tukang cukur mulai mencukur janggut Dimas. Sedikit demi sedikit pisau cukurnya mengarah kebagian leher Dimas yang ditumbuhi bulu-bulu janggutnya. Tetapi sesekali si tukang cukur sedikit mengiris-iris bagian leher Dimas yang membuat Dimas sesekali merintih kesakitan. Lalu dengan kasarnya tangan kiri si tukang cukur menarik kepala Dimas ke belakang sehingga bagian leher nya menganga dengan sangat lebar. Dengan pisau cukur di tangannya, si tukang cukur berteriak dan tertawa keras sambil mengayunkan pisaunya...
“Aaaaahhhhhhhhhhhh..........”, Dimas pun berteriak mengaduh sekeras-kerasnya di samping ibu tercinta yang membangunkannya dari tidur gelisahnya. Keringatpun membasahi sekujur tubuh Dimas. Lalu Dimas membuka matanya sambil menyebut nama Tuhan. []
#CG @Karawang, 14 Mei 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H