Mohon tunggu...
Cecep Gaos
Cecep Gaos Mohon Tunggu... Guru - Guru pecinta literasi

Guru Kota Padi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peran Religious Literacy Keluarga dalam Pendidikan Anak di Abad 21

20 Agustus 2016   08:28 Diperbarui: 30 April 2017   22:04 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Abad 21 adalah abad yang penuh dengan lompatan-lompatan besar (big leaps) dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi digital (IPTEKDIGI). Seperti yang kita maklumi bersama, perkembangan IPTEKDIGI berjalan di atas deret ukur, sementara perkembangan Sumber Daya Manusia (SDM) berjalan di atas deret hitung. IPTEKDIGI berubah dan berkembang secara progresif dan sporadis tanpa menunggu antrian, sementara peningkatan kemampuan dan bekal manusia dalam memanfaatkan teknologi berjalan lambat, bahkan kurang mendapatkan perhatian.

Oleh karena itu, beberapa pakar, terutama pakar pendidikan, telah merumuskan keterampilan-keterampilan yang harus dikuasai anak-anak dalam menyongsong dan menjalani kehidupan abad 21, yang mereka sebut dengan core skills (keterampilan inti) atau biasa disebut dengan pendidikan abad 21. Setidaknya ada 6 keterampilan inti yang harus dikuasai, yaitu (1) Critical thinking and problem solving (Berpikir kritis dan pemecahan masalah); (2) Collaboration and communication (Kolaborasi dan komunikasi); (3) Creativity and imagination (Kreativitas dan imajinasi); (4) Citizenship (Kewarganegaraan); (5) Digital literacy (melek digital); dan (6) Student leadership and personal development (kepemimpinan siswa dan pembangunan diri).

Keterampilan-keterampilan tersebut di atas diyakini akan menjadi bekal bagi anak-anak hidup di abad 21. Oleh karena itu, keterampilan-keterampilan tersebut harus ditanamkan dan diasah semenjak usia dini. Keterampilan pertama yaitu Critical thinking and problem solving.Dengan keterampilan ini anak-anak dilatih untuk bisa memfungsikan akalnya secara maksimal dan kritis sehingga bisa memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata. Keterampilan kedua yaitu Collaboration and communication. Dengan keterampilan ini anak-anak dilatih dan dibiasakan untuk mampu bekerjasama dan melakukan komunikasi secara efektif sebagai makhluk sosial, sehingga mereka akan bisa hidup berdampingan dalam kehidupan sosialnya. 

Keterampilan ketiga yaitu Creativity and imagination. Dengan keterampilan ini anak-anak diasah kreativitas dan imajinasinya sehingga mampu membuat terobosan-terobosan baru yang akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi. Keterampilan keempat yaitu Citizenship.Dengan menguasai keterampilan ini, anak-anak diharapkan mempunyai kesadaran dalam kehidupannya bahwa mereka selain sebagai seorang warga negara, juga merupakan warga negara dunia, yang di dalamnya hidup orang-orang dari berbagai ras, warna kulit, suku bangsa, bahasa, agama dan lain sebagainya, sehingga mereka akan mampu saling menghormati dan menghargai. 

Keterampilan kelima yaitu Digital literacy. Dengan keterampilan ini anak-anak dibekali dengan kemampuan untuk menggunakan perangkat-perangkat digital dengan arif dan bijaksana serta bertanggung jawab. Keterampilan yang terakhir yaitu Student leadership and personal development.Dengan keterampilan ini anak-anak dilatih kemampuan kepemimpinannya dan dilatih kekuatan dirinya sebagai individu.

Dari uraian di atas, bisa dilihat bahwa keterampilan-keterampilan yang dikembangkan dalam pendidikan abad 21 lebih menekankan kepada hal-hal yang bersifat horizontal, yaitu keterampilan yang berhubungan dengan kehidupan sesama manusia. Ada hal yang dilupakan bahwa kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dengan hal-hal yang bersifat vertikal, yaitu yang berhubungan dengan ketuhanan. Sehingga dibutuhkan satu keterampilan lagi untuk melengkapi keterampilan abad 21, yaitu Religious Literacy (pengetahuan dan keterampilan beragama).

Di dalam Wikipedia, religious literacy diartikan sebagai pengetahuan dan kemampuan untuk memahami agama. Sementara itu Profesor Moore (2016) mengatakan bahwa religious literacy merupakan kemampuan untuk melihat dan menganalisis persimpangan antara agama dengan kehidupan sosial, politik dan budaya melalui berbagai sudut pandang. Lebih lanjut Moore mengatakan bahwa orang yang melek agama akan memiliki pandangan dasar tentang sejarah, kepercayaan, dan praktek-praktek keagamaan. Disamping itu, mereka memiliki kemampuan untuk melihat dan menjelajah dimensi-dimensi sosial, politik dan budaya yang religius melintasi batas waktu dan tempat. Sehingga keterampilan religious literacy lebih holistik dibandingkan dengan keterampilan-keterampilan yang lain.

Di dalam agama Islam misalnya, banyak praktek-praktek keagamaan yang memiliki dimensi sosial, politik, ekonomi dan budaya. Sehingga ilmu dan agama dapat berjalan bergandengan tanpa merendahkan atau menegasikan satu sama lain. Albert Einstein berkata bahwa ilmu tanpa agama pincang dan agama tanpa ilmu buta. Ini menunjukkan bahwa begitu pentingnya sinergitas antara ilmu dan agama. Mereka tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Lalu bagaimana menanamkan keterampilan religious literacy ini pada anak-anak? Jawabannya adalah dimulai dari keluarga. Keluarga adalah lingkungan paling dekat dengan anak-anak. Di dalam keluargalah anak-anak mengenyam pendidikan pertamanya sebelum mengenyam pendidikan-pendidikan lain. Di dalam keluarga ada seseorang yang mempunyai peran sentral, yaitu ibu. Seorang ibu mempunyai peran penting dan strategis dalam mendidik anak-anaknya. Ada sebuah hadis yang berbunyi “al ummu madrasatul ula”,yang artinya ibu adalah sekolah pertama. Oleh karena itu, ibu dapat mewarnai perkembangan anak-anaknya. Ibu dapat menjadikan anak-anaknya menjadi manusia-manusia hebat di masa depan. 

Manusia yang tidak hanya memiliki ilmu pengetahuan yang luar biasa, tetapi juga memiliki kualitas hati, jiwa dan akhlak yang luhur. Pun demikian dengan seorang bapak. Bapak merupakan sosok penting kedua setelah ibu. Bapak mempunyai peranan yang penting dalam membentuk keperibadian yang tangguh bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam membekali dan mendidik anak-anaknya religious literacy agar mampu hidup di abad 21 yang penuh dengan hal-hal yang bersifat materi dan keduniaan. Mereka harus diberi keterampilan yang mampu menyeimbangkan antara kehidupan duniawi dengan kehidupan ukhrawi sehingga hidupnya tidak gersang, batinnya tidak hampa, jiwanya tidak kosong.

Religious literacy sudah seyogianya ditanamkan di seluruh tatanan keluarga sebagai garda terdepan dari pembangunan  sumber daya manusia suatu bangsa. Dari tatanan keluarga inilah akan lahir generasi-generasi bangsa yang tidak hanya memiliki keterampilan-keterampilan ardhitetapi juga memiliki keterampilan-keterampilan samawi. Dengan demikian anak-anak generasi penerus bangsa kita akan sanggup mengarungi abad 21 dengan baik.

Wallahu a’lam.

Penulis:

CECEP GAOS, S.Pd

Guru SD Puri Artha Karawang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun