Di dalam Permendikbud No. 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru disebutkan bahwa idealnya seorang guru wajib memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Keempat kompetensi ini terintegrasi dalam kinerja seorang guru yang menunjang tugas pokok dan fungsinya yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi.
Merujuk pada Permendikbud tersebut di atas, kompetensi pedagogik yaitu kemampuan guru dalam menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. Di samping itu, kompetensi pedagogik menyangkut kompetensi inti dalam menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. Sementara itu, kompetensi kepribadian adalah kompetensi bagaimana cara guru bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia. Seorang guru juga wajib menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Di samping itu, seorang guru dituntut untuk menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri. Dan yang terakhir adalah menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
Selain kompetensi pedagogik dan kepribadian, seorang guru juga dituntut untuk memiliki kompetensi sosial, yaitu guru harus bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi. Di samping itu, seorang guru harus mampu berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat. Kompetensi yang terakhir yang harus dimiliki seorang guru adalah kompetensi profesional. Kompetensi profesional adalah kompetensi guru dalam menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. Menguasai standar kompetensi (baca: Kompetensi Inti) dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu. Selain itu, guru harus mampu mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif, serta memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus melakukan upaya peningkatan kompetensi guru. Tahun ini, upaya tersebut diawali dengan melakukan pemetaan melalui Uji Kompetensi Guru (UKG) 2015. Materi yang diujikan dalam UKG 2015 hanya dua kompetensi, yaitu pedagogik dan profesional. Untuk penilaian yang lebih komprehensif, pada tahun 2016 Kemendikbud akan melaksanakan Penilaian Kinerja Guru. Sebagaimana yang disampaikan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Sumarna Surapranata (Rabu, 11/11/2015), sebagai tindak lanjut dari UKG, Kemendikbud akan melaksanakan Penilaian Kinerja Guru (PKG) pada tahun 2016. Nilai UKG tahun 2015 akan digabungkan dengan nilai PKG ini. Skor akhir kedua tes ini akan menjadi potret utuh kompetensi yang dimiliki seorang guru. Pranata menjelaskan bahwa skema ini menilai guru secara lebih menyeluruh, baik secara pengetahuan maupun kemampuan. Ada empat komponen penilaian dalam PKG, yaitu pengawas, kepala sekolah, siswa, dan komite sekolah. Untuk guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), ditambah penilaian dari dunia usaha dan industri.
Lebih lanjut Pranata mengatakan bahwa tujuan yang diharapkan dari UKG dan PKG adalah guru-guru Indonesia menjadi insan yang mau terus belajar. Penulis menyebutnya dengan istilah teacher as a long life learner (guru sebagai pembelajar sepanjang masa). Dalam istilah bahasa Arab “Almu’allimu kamaa thawiilatul muta’allimul hayaah”.
Menurut pandangan penulis, pernyataan yang disampaikan oleh Pranata tersebut belum menjawab pertanyaan penulis pada judul tulisan ini “Kompetensi Kepribadian dan Sosial Guru Tanggung Jawab Siapa?” Sepanjang pengetahuan penulis, pernyataan-pernyataan yang disampaikan selama ini lebih berfokus pada bagaimana memotret kompetensi pedagogik dan profesional guru. Padahal, seperti apa yang penulis sampaikan di awal bahwa kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang guru bukan hanya kompetensi pedagogik dan profesional, tetapi juga termasuk kompetensi kepribadian dan sosial. Agak sulit memang untuk memotret kompetensi kepribadian dan sosial mengingat kedua kompetensi ini lebih bersifat “soft skills”. Maka, memotretnya (baca: menilainya) harus menggunakan soft instruments juga.
Menurut pandangan penulis kepala sekolah mempunyai peranan dalam hal ini. Kepala sekolah adalah orang atau pemimpin yang paling dekat dengan guru-guru. Kepala sekolah adalah orang yang bersentuhan langsung dengan guru-guru, dan orang yang mengetahui secara persis kondisi real sekolah secara keseluruhan. Perlu diketahui bahwa tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kepala sekolah berdasarkan Permendiknas RI Nomor 13 Tahun 2007 meliputi dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial.
Di dalam permendiknas tersebut disebutkan bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki kepala sekolah dalam dimensi kepribadian adalah berakhlak mulia, mengembangkan budaya dan tradisi akhlak mulia, dan menjadi teladan akhlak mulia bagi komunitas di sekolah/madrasah. Dalam dimensi manajerial, kepala sekolah mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal. Sementara itu, dalam dimensi kompetensi supervisi, kepala sekolah melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat. Sedangkan dalam dimensi sosial, kepala sekolah bekerja sama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah/madrasah.
Menurut pandangan penulis, dengan kompetensi-kompetensi inilah kepala sekolah akan mampu meningkatkan kompetensi-kompetensi guru, bukan hanya kompetensi pedagogik dan profesional, tetapi juga kompetensi kepribadian dan sosial. Kepala sekolah akan mampu membuat program-program dan menciptakan atmosfir serta budaya sekolah yang baik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di sekolah, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Selain faktor kepemimpinan kepala sekolah, tentu saja tidak kalah pentingnya adalah faktor guru itu sendiri. Guru merupakan faktor dan aktor utama dalam meningkatkan kompetensi-kompetensinya. Guru harus memiliki kemauan dan kemampuan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Karena tanpa ada kemauan dari guru secara personal, maka cita-cita untuk pendidikan yang lebih baik mustahil akan terwujud. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Quran surat Ar-Rad ayat 11 “Innallaha laa yughayyiru maa biqaumin hattaa yughayyiru maa bi anfusihim”. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum tanpa adanya kesungguhan dari kaum tersebut untuk mengubah nasibnya sendiri.
Oleh karena itu, penulis mengajak kepada diri pribadi khususnya dan seluruh guru Indonesia untuk senantiasa melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Ayo kita berubah untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik! :)
Cecep Gaos, S.Pd
Guru di SDS Puri Artha Karawang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H