Mohon tunggu...
Dewi Cantika
Dewi Cantika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Padjadjaran

There is art in everything you see. But only with humility you can understand it

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perjuangan Lasminingrat dalam Pusaran Pergerakan Perempuan di Garut

2 Juli 2024   11:10 Diperbarui: 2 Juli 2024   17:27 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah salah satu negara yang berhasil keluar dari belenggu kolonialisme Belanda. Tanah air yang sedang kita pijak kini telah hampir mencapai usia 79 tahun. Beragam cerita sejarah dan perjuangan telah ditorehkan, baik sebelum ataupun sesudah proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945.

Kita turut bangga akan pahlawan-pahlawan kita yang telah berjuang demi bebas dari para penjajah. Definisi memperjuangkan kemerdekaan tidak selalu berarti bertumpah darah dalam peperangan. Perjuangan dapat berupa menuangkan suaranya dalam tulisan maupun orasi.

Perjuangan juga dapat dilakukan dalam dunia pendidikan demi mencerdaskan kaum pribumi yang tertindas. Pahlawan juga tidak terbatasi oleh gender, usia, suku, maupun asal kelahirannya. 

Dahulu kaum perempuan tidak bebas dalam kehidupannya dan selalu diletakkan di balik tameng laki-laki. Bahkan, perempuan pada masa kolonial tidak bisa menggali pendidikan formal seperti adanya perempuan di masa kini. Kala itu Lasminingrat datang dan memperjuangkan emansipasi perempuan, khususnya di bidang pendidikan. 

Nama-nama seperti Raden Ajeng Kartini atau Dewi Sartika pasti sudah tidak asing bagi sebagian besar dari kita. Dua tokoh tersebut digadang-gadang sebagai tokoh pahlawan perempuan yang paling terkenal kisahnya. Mereka dimuat dalam berbagai tulisan sejarah, karya puisi, dan cerita. Kartini dan Dewi Sartika disanjung sebagai tokoh emansipasi perempuan yang selalu dirayakan setiap tahunnya.

Tetapi sebenarnya, jauh sebelum kelahiran dua srikandi yang memperjuangkan hak-hak perempuan di zaman mereka ini, ada seseorang yang sudah terlebih dahulu memperjuangkan kesetaraan perempuan terkhusus dalam bidang pendidikan di Garut.

Ialah Lasminingrat, perempuan yang lahir pada 1843 di Garut itu merupakan putri dari Raden Haji Muhamad Musa dan Raden Ayu Ria yang masa mudanya dihabiskan untuk mempelajari sastra. Perempuan didikan Levyson Norman ini dapat dikatakan sebagai perempuan berdarah Sunda pertama yang mahir dalam menulis dan berbahasa Belanda pada masanya. 

Barangkali, benar kata pepatah jika pena lebih tajam daripada pedang. Karena melalui pena, Lasminingrat mulai menulis dan tulisannya mampu menyelamatkan dirinya dan juga perempuan-perempuan di Garut dari penindasan terhadap hak-hak mereka terkhusus dalam bidang pendidikan.

Pada usia 28 tahun, ia sudah sangat mahir menulis buku pelajaran untuk anak-anak sekolah. Tidak hanya itu, kerap kali Lasminingrat menerjemahkan cerita dari Eropa ke dalam Bahasa Sunda. 

Karya-karyanya yang cukup terkenal seperti Carita Erman dan Warnasari Atawa Roepa-Roepa Dongeng menjadi sangat terkenal dan mengantarkannya pada dukungan dari pemerintah kolonial sehingga karyanya tersebut disebarkan sebagai bahan ajar untuk sekolah di Jawa Barat bahkan hingga ke luar Jawa dan diterjemahkan kembali dalam bahasa Melayu. 

Namun, setelah semua pencapaian itu Lasminingrat tidak bisa lagi berkarir dalam bidang sastra karena ia telah dipersunting sebagai istri kedua oleh Bupati Garut yang bernama Raden Wiratanudatar VII.

Meski tak lagi menulis, di dalam hatinya Lasminingrat masih memiliki keinginan untuk memperjuangkan hak-hak kaumnya. Tersiarlah kabar tentang sekolah khusus perempuan yang ingin didirikan oleh Dewi Sartika, namun usulan tersebut ditolak Bupati Bandung.

Lasminingrat yang mengetahui hal itu berusaha membujuk suaminya yang menjabat sebagai Bupati Garut agar bisa membujuk rekannya untuk menerima ide ini.

 Usaha Lasminingrat akhirnya membuahkan hasil. R.A.A Martanegara menerima usulan ini dan berdirilah Sakola Istri sebagai sekolah perempuan pertama di Jawa Barat pada 16 Januari 1904. Dari sanalah semangat Lasminingrat kembali membara yang membuatnya terinspirasi untuk mendirikan Sakola Kautamaan Istri pada 1907 di Pendopo Garut.

Seperti Dewi Sartika, Lasminingrat juga ingin membuang adat lama yang membatasi perempuan yang sudah menikah untuk sekolah. Karena menurutnya, justru pendidikan menjadi sangat penting bagi perempuan yang sudah menikah untuk ia mendidik anak-anaknya dan agar tidak mudah tertindas oleh suaminya. 

Dari perjuangan Lasminingrat dalam bidang pendidikan perempuan di Garut dapat kita tarik kesimpulan bahwa perempuan-perempuan Nusantara telah berjuang untuk mendapatkan hak kesetaraan dan menyuarakan emansipasi perempuan sejak dahulu kala, bahkan sebelum Indonesia dinyatakan merdeka.

Tugas Lasminingrat sebagai pengangkat derajat kehidupan perempuan masih harus diemban perempuan-perempuan masa kini. Besar harapan bahwa perempuan kelak akan mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan terhadap dirinya sendiri.

Penulis: Annisa Nayla Faiza, Dewi Cantika Sekar Arum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun