Namun, setelah semua pencapaian itu Lasminingrat tidak bisa lagi berkarir dalam bidang sastra karena ia telah dipersunting sebagai istri kedua oleh Bupati Garut yang bernama Raden Wiratanudatar VII.
Meski tak lagi menulis, di dalam hatinya Lasminingrat masih memiliki keinginan untuk memperjuangkan hak-hak kaumnya. Tersiarlah kabar tentang sekolah khusus perempuan yang ingin didirikan oleh Dewi Sartika, namun usulan tersebut ditolak Bupati Bandung.
Lasminingrat yang mengetahui hal itu berusaha membujuk suaminya yang menjabat sebagai Bupati Garut agar bisa membujuk rekannya untuk menerima ide ini.
 Usaha Lasminingrat akhirnya membuahkan hasil. R.A.A Martanegara menerima usulan ini dan berdirilah Sakola Istri sebagai sekolah perempuan pertama di Jawa Barat pada 16 Januari 1904. Dari sanalah semangat Lasminingrat kembali membara yang membuatnya terinspirasi untuk mendirikan Sakola Kautamaan Istri pada 1907 di Pendopo Garut.
Seperti Dewi Sartika, Lasminingrat juga ingin membuang adat lama yang membatasi perempuan yang sudah menikah untuk sekolah. Karena menurutnya, justru pendidikan menjadi sangat penting bagi perempuan yang sudah menikah untuk ia mendidik anak-anaknya dan agar tidak mudah tertindas oleh suaminya.Â
Dari perjuangan Lasminingrat dalam bidang pendidikan perempuan di Garut dapat kita tarik kesimpulan bahwa perempuan-perempuan Nusantara telah berjuang untuk mendapatkan hak kesetaraan dan menyuarakan emansipasi perempuan sejak dahulu kala, bahkan sebelum Indonesia dinyatakan merdeka.
Tugas Lasminingrat sebagai pengangkat derajat kehidupan perempuan masih harus diemban perempuan-perempuan masa kini. Besar harapan bahwa perempuan kelak akan mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan terhadap dirinya sendiri.
Penulis: Annisa Nayla Faiza, Dewi Cantika Sekar Arum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H