Mohon tunggu...
Dewi Cantika
Dewi Cantika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Padjadjaran

There is art in everything you see. But only with humility you can understand it

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Tentang Kekuatan dan Kesabaran dari Novel "Drupadi, Perempuan Poliandris"

25 Juni 2024   11:50 Diperbarui: 25 Juni 2024   21:18 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Kuat itu tidak bisa bersanding dengan sabar. Kuat sering dikaitkan dengan kemampuan seseorang untuk melawan setiap tantangan yang muncul dalam hidupnya. Sedangkan sabar takkan jauh dari sikap lemah lembut dan bisa menerima apa saja yang terjadi tanpa mengeluh. Tetapi ini hanya bagaimana aku melihat orang-orang disekitar. Bahwa yang sabar, akan sulit untuk menjadi kuat, karena selalu menerima apa saja yang terjadi pada dirinya. Begitu juga sebaliknya. Orang yang terbiasa menggunakan kekuatannya takkan mau diminta menerima situasi yang menyebabkan ketidakadilan pada dirinya begitu saja. Dia pasti akan berusaha untuk melawan sekuat tenaga dengan kekuatan apapun yang dimiliki. Tetapi belakangan, pandanganku mengenai hal itu berubah setelah membaca buah karya dari Seno Gumira Ajidarma yang bertajuk Drupadi, Perempuan Poliandris. Novel ini mulai beredar sejak 6 Januari 2017 dengan jumlah halaman yang terbilang tipis. Meskipun jumlah halamannya yang sedikit, novel ini telah memberiku perspektif baru tentang artinya kekuatan dan luasnya sebuah kesabaran. 

           Seno menyajikan kisah Drupadi dengan alur cerita yang sedikit berbeda dari kisah Drupadi yang kebanyakan orang tahu. Dalam novel ini, Drupadi tidaklah lahir dari sebuah api atau dikutuk oleh Ayahnya, ia tercipta dari sekuntum bunga teratai yang sedang merekah. Sebagaimana anak perempuan kebanyakan, Drupadi dibesarkan dengan kelembutan dan kasih sayang yang melimpah. Dirinya yang dikisahkan secantik mimpi itu dijaga bagaikan sebuah permata, diletakan di dalam istana tanpa boleh seorang pun yang sembarangan melihat rupa sang putri yang jelita. Seperti kebanyakan perempuan pula, pada akhirnya dia diperlakukan tak ubahnya sebuah barang yang harus dimenangkan oleh laki-laki. Duduklah ia dalam sebuah sayembara, dimana pangeran dari seluruh penjuru kerajaan akan berusaha memenangkannya untuk dinikahi dalam kompetisi adu kekuatan. 

           Dalam pikirnya, Drupadi tahu kalau ini tidak benar. Kenapa dia harus menerima seseorang untuk menikahinya hanya karena dia kuat? Bagaimana kalau ternyata orang itu jahat? Tetapi, Drupadi menerima jika itu memang suratan takdirnya. Dia duduk dengan sabar, bertanya-tanya Ksatria kuat seperti apakah yang akan memenangkan dirinya dalam sayembara ini. Hingga akhirnya, dimenangkanlah dia oleh putra Pandu, Arjuna, yang pada saat itu sedang menyamar sebagai Brahmana. Mulanya, Drupadi berpikir ini adalah sebuah berkat, jalan menuju kehidupannya yang bahagia. Siapa yang tidak bahagia bersuamikan Arjuna, yang tidak hanya tampan parasnya tetapi juga baik perangainya.  Tetapi lagi-lagi, kesabarannya itu diuji karena ternyata, dia juga harus menjadi istri bagi saudara-saudara Arjuna. Sekali lagi, Drupadi tahu jika ini tidak benar dan bisa saja dia lari, tetapi tidak. Drupadi menerima semua ini dengan sabar, tanpa mengeluh atau melawan. Mungkin memang inilah jalannya, bahwa dirinya akan menikah dengan kelima putra Pandu dan selamanya akan dikenal sebagai istrinya Pandawa.

          Hingga sabar itu akhirnya bergejolak saat permainan dadu di Hastina. Suami-suaminya yang dia sayangi ternyata telah mempertaruhkan segala yang mereka miliki diatas meja judi. Kerajaan bahkan jiwa mereka sendiri dan akhirnya mereka juga mempertaruhkan Drupadi.

          Sepanjang yang kutahu tentang epos Mahabharata, aku tidak pernah membaca kisah perempuan yang lebih memilukan daripada kisahnya Drupadi. Bagaimana perempuan yang ditulis sebagai berkah dewa itu justru menghadapi derita yang tidaklah siapapun bisa menahannya? Suratan takdir seperti apa yang sebenarnya tertulis untuk Drupadi? 

         Kisah dipertaruhkannya Drupadi diatas meja judi menjadi bagian cerita yang aku tunggu-tunggu. Bukan berarti aku senang melihat Drupadi tersiksa, tetapi aku lebih tertarik untuk membaca bagian cerita yang selanjutnya. Saat dimana Dewa Krishna membantu Drupadi yang akan ditelanjangi oleh Dursasana. Bagian cerita ini selalu jadi perlambang kalau tangan Tuhan selalu bekerja menolong hambanya dengan cara yang tidak disangka-sangka. Dengan bayangan akan membaca kisah seperti itulah aku membalikkan halaman pada buku ini lagi, tetapi dalam versi yang ditulis oleh Seno, bagian tersebut tidak ada. 

         Disini Drupadi diseret bak seekor hewan, lalu dilemparkan dengan kasar ke meja judi. Sungguh, tidak ada seorang perempuan di Hastina ataupun seluruh dataran Arya yang pernah dipermalukan sebagaimana mereka mempermalukan Drupadi. Dari semua sabar yang ia miliki, Drupadi akhirnya melawan. Amarahnya menyala, di depan seluruh Kurawa dan Pandawa, dia menentang semua perjudian ini dan menganggap dirinya yang dipertaruhkan dalam perjudian ini tidaklah sah. Dia tidak ingin menghamba kepada siapapun. Tetapi akhirnya, kita tetap sampai pada bagian cerita dimana Drupadi berusaha ditelanjangi oleh Dursasana. Hanya saja kali ini, Drupadi tidak mendapat perlindungan dari Krishna. Semua kelopaknya dirisak, hancur tak bersisa oleh 100 Kurawa.

        Setelah membaca bab itu, aku berpikir mungkin saja dalam versi yang ini Drupadi akan pergi meninggalkan Pandawa dan hidup sendiri entah kembali sebagai putrinya Drupada atau hidup menggembara. Karena tidak mungkin ada seorang istri yang kuat hidup bersama dengan suami yang tidak bisa melindunginya, bahkan membiarkannya terhina di depan orang-orang. Tetapi pada bab Wacana Drupadi, aku menyadari bahwa nalarku mengenai sabar dan kuat telah terpatahkan oleh putrinya Drupada ini. Dia yang telah dihinakan oleh Kurawa itu masih tetap berdiri tegak, dengan suaranya yang lantang meminta hak atas keadilannya sendiri. Dia yang telah dipertaruhkan oleh suaminya itu masih tetap mengabdi kepada Pandawa bahkan dengan sabar mengikuti mereka dalam masa pengasingan. 

        Bagiku, membaca Drupadi berarti membaca soal keikhlasan. Bahwa ternyata hadirnya kesabaran itu justru bisa juga menjadi kekuatan dalam diri seseorang. Kuat tidak selalu tentang mereka yang bisa melawan, tapi bagaimana seseorang itu tetap bertahan dalam segala situasi yang menyalahinya tanpa ikut menjadi salah. Dan begitulah sosok Drupadi yang tidak pernah ternoda. Meski dia hidup diantara orang-orang yang telah banyak menyalahinya, Drupadi tetaplah sekuntum teratai indah yang merekah seberapa banyak pun lumpur pada kolam disekitarnya.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun