Mohon tunggu...
C Ayda
C Ayda Mohon Tunggu... Freelancer - Enjoy lah

pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Yuk Bisa Yuk! Generasi Anti Rebahan Menuju Net-Zero Emissions

20 Oktober 2021   22:59 Diperbarui: 20 Oktober 2021   23:13 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaes, berasa tidak suhu udara bumi semakin lama makin panas? Baru selesai mandi lalu sudah keringatan lagi. Malam-malam tidak bisa tidur kalau tidak pakai penyejuk ruangan (AC). Mau berangkat kuliah atau kerja dengan kendaraan umum malah kena macet. Lebih cepat pakai motor atau kendaraan pribadi dengan AC yang nyaman. Salah satu enaknya kuliah online atau WFH ya tidak usah kena macet di jalan, tetapi pemakaian listrik di rumah justru bertambah. Laptop dan alat gawai harus standby menyala. Kalau baterainya sudah menipis perlu ditambah dayanya pakai listrik. Ruangan tempat kita belajar atau bekerja pastinya ber-AC supaya kita bisa fokus menyelesaikan tugas-tugas dengan baik. 

Pastilah kita menggunakan listrik untuk mendukung aktivitas sehari-hari. Bayangkan jika suatu kali listrik terputus akibat gangguan di gardu atau pohon tumbang menimpa kabelnya. Hidup terasa hampa tanpa listrik, tidak bisa berbuat apa-apa. Hiks.

Tetapi gaes, daya listrik yang sudah masuk ke rumah-rumah kita sebagian besar masih menggunakan bahan bakar batubara, minyak dan gas. Ini tergolong bahan bakar fosil yang membutuhkan waktu sangat lama untuk siap pakai dan nantinya sumber daya alam ini akan habis juga. 

Gas Rumah Kaca

Lalu AC di kamar dan kendaraan yang kita pakai akan menghasilkan karbondioksida (CO2). Jika hampir setiap orang menggunakan AC dan kendaraan pribadi tentu akan sangat banyaklah CO2 di bumi kita. CO2 ini menjadi salah satu penyumbang gas rumah kaca selain nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4), dan freon (SF6, HFC, PFC). 

Ketika sinar matahari menyinari bumi, gas rumah kaca ini malah menyerap energi panas sinar matahari. Terlalu banyak menyerap sampai suhu bumi naik lebih panas lagi. Terjadilah pemanasan global. Alhasil seperti tadi gaes, kita sudah selesai mandi, segar dan wangi..eee...cepat keringatan lagi. Pakaian sampai basah lepek.

Coba pernahkah memperhatikan warna langit di kotamu? Apakah biru, sedikit berawan atau putih berkabut. Khusus kamu yang tinggal di kota Jakarta, langit berwarna biru baru terjadi ketika mudik lebaran dan masa pandemi dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Lebih dari itu langit kebanyakan berwarna putih keabuan. Beberapa hal inilah menjadi peringatan bahwa cara hidup kita sudah tidak sehat lagi.

Mindset Berubah

Nah, sebelum sumber daya alam benar-benar habis, sudah banyak sekali usaha dan gerakan peduli merawat lingkungan baik secara individu maupun kelompok. Gerakan ini sudah lama berlangsung tetapi belum cukup mengurangi pemanasan global. Sebab jumlah penduduk kian bertambah dan terus menerus memakai tenaga listrik untuk kebutuhan rumah tangga. Waktu seakan berlomba-lomba antara tipisnya persediaan sumber daya alam dengan bertambahnya kesadaran manusia untuk segera mengganti kebiasaan hidup selama ini. Mindset kita harus berubah. Sayangnya usaha kesadaran dan perubahan pola hidup manusia belum merata dilakukan, termasuk diri saya dan kamu. Ya kamu. 

Pajak Karbon

Masalah besar ini sudah mendapat perhatian dunia. Pemerintah Indonesia ikut mendukung dan menandatangani perjanjian yang namanya Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Singkat kata, Paris Agreement menjadi kesepakatan banyak negara dan dukungan bahwa setiap negara harus melindungi wilayahnya dengan menurunkan emisi, melestarikan hutan, meningkatkan energi terbarukan dan melibatkan peran masyarakat dalam pengendalian perubahan iklim. Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 29 % pada tahun 2030.

Bahkan Indonesia ikut menyusul negara-negara lain yang sudah memberlakukan pajak karbon. Pajak karbon di Indonesia mulai berlaku pada tahun 2022. Pajak karbon dikenakan kepada perusahaan yang aktivitasnya menghasilkan emisi karbon. Termasuk wajib pajak perorangan yang membeli produk mengandung karbon atau aktivitasnya menghasilkan emisi karbon. 

Kalau listrik saja masih menggunakan bahan bakar fosil lalu dikenakan pajak karbon, berarti konsumen membayar biaya listrik lebih mahal kan. Panik gak ? Panik gak ? Ah, panik berlebihan cuma untuk Bigetron Alpha rivalnya Alter Ego, e-sport mobile legend.  Kita kudu tenang dan memahami tujuan pajak karbon ini. Lagipula penerimaan pajak karbon akan digunakan untuk pengendalian dan adaptasi perubahan iklim, antara lain meningkatkan teknologi energi terbarukan. Toh, kita juga yang akan menikmati hasil dari aturan pajak karbon ini, yang sudah ditetapkan dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun