Memasuki bulan Desember, suasana natal umumnya sudah mulai terasa. Meski natal baru dirayakan pada tanggal 25 Desember, namun keceriaan natal mulai tampak di sana sini. Ketika memasuki pusat-pusat perbelanjaan, biasanya suasana tersebut makin terasa kuat. Aneka hiasan dan aksesoris natal mulai dipajang. Pohon terang dengan segala pernak-perniknya menjadi ikon natal yang tak pernah ketinggalan. Banjir hadiah saat orang berbelanja dalam jumlah tertentu, menjadi iming-iming yang menggiurkan. Belum lagi tempat-tempat hiburan. Semua tak mau kalah menawarkan kenikmatan. Semua serba menampilkan kegemerlapan.Â
Kemewahan, kemeriahan, dan tampilan gemerlap sepertinya lalu identik dengan perayaan natal itu sendiri. Baju baru, aneka hadiah, hidangan melimpah, menikmati liburan yang indah, dan sebagainya adalah wujud dari kemewahan yang sering ditampilkan oleh sebagian masyarakat. Merayakan natal tanpa kemewahan serasa jadi hambar dan tak bermakna. Seorang teman malah pernah bilang pada saya bahwa natal tanpa diwarnai hadiah dan makan-makan serasa belum lengkap. Oh..., aku hanya bisa melongo menanggapi ujaran teman ini. Beberapa waktu lalu saya juga menerima tawaran lewat email. Tawaran untuk menikmati liburan natal di satu destinasi wisata dengan aneka hiburannya. Ah, tawaran ini saya abaikan karena memang saya tak tertarik.
Pesta, liburan, makan, hadiah....wah rasanya kok kurang sreg bagi saya pribadi. Bukan saya tak suka makan, atau tak mau menerima hadiah. Bukan pula tak mau menikmati hiburan, atau yang lainnya. Cuma, kalau merayakan natal selalu harus begitu, dan hanya berhenti sampai di situ kok makna natal jadi terasa dangkal. Natal menjadi sekadar pesta jasmani dan bersifat duniawi, bukan lagi pesta rohani. Â Pada hemat saya, momen natal sebenarnya lebih tepat dijadikan sebagai momen untuk berbagi dan menggembiarakan orang lain, bukan momen untuk hura-hura yang hanya menyenangkan diri sendiri.
Sejak kecil. dalam keluarga saya selalu ditanamkan kebiasaan untuk berbagi oleh orang tua. Meski kami bukan berasal dari keluarga yang berlebih, namun kesediaan berbagi selalu diingatkan oleh orang tua, terutama oleh ibu. Saya ingat dulu waktu kecil, kami (saya dan kakak-kakak) kalau ke gereja waktu natal suka membawa bingkisan sederhana yang dibungkus kertas kado. Bingkisan ini bisa berupa makanan, mainan, alat tulis, atau yang lain. Kado-kado kecil yang kami siapkan ini kemudian kami letakkan pada gua natal di gereja sebagai bentuk persembahan kami. Begitu pula anak-anak yang lain juga kalau ke gereja membawa bingkisan natal. Oleh panitia natal, bingkisan yang terkumpul ini kemudian disalurkan ke panti asuhan. Kebiasaan tersebut masih terus berjalan hingga kami menginjak usia  remaja. Beberapa kali saya diajak ikut membagikan bingkisan ke panti asuhan. Senang rasanya bisa bermain dengan teman-teman di panti asuhan yang usianya sebaya. Â
Sayang, kebiasaan saeperti ini kemudian tak lagi berlanjut. Kini, dengan perubahan jaman kebiasaan mempersembahkan bingkisan natal telah pudar. Yang terjadi justru sebaliknya. Anak-anak tidak dibiasakan berbagi tapi justru menerima. Semangat konsumtif pun makin ditonjolkan. Hal ini juga dipicu oleh iklan yang membanjir dan menguasai ruang-ruang kehidupan di tengah keluarga, baik iklan lewat televisi maupun lewat media lainnya yang begitu masif. Menjadi kebiasaan baru di kalangan masyarakat, merayakan natal di mal-mal, hotel, atau tempat hiburan tertentu. Anak-anak menikmati segala kemeriahan natal dengan aneka hadiah yang senantiasa mereka harapkan. Orang tua menumpahkan isi koceknya dengan belanja dan pesta. Inilah gaya hidup  yang ditampilkan masyarakat, terutama di kota besar.Â
Fenomena pamer kemewahan ini sungguh memprihatinkan. Semangat merayakan natal bergeser menjadi sekadar semangat pesta pora. Padahal peristiwa natal itu sendiri yakni kelahiran Yesus, yang dirayakan umat Kristiani sesungguhnya jauh dari kemewahan. Yesus lahir ke dunia dalam wujud kesederhanaan dan kepapaan. Nah, kalau sekarang natal dirayakan dengan pamer kemewahan, bukankah ini menjadi aneh. Apalagi, bila di sekeliling kita masih banyak masyarakat yang miskin, berkekurangan dan membutuhkan uluran tangan. Bukankah akan lebih baik bila gaya hidup psmer kemewahan diubah. Bukan lagi saatnya kita menghamburkan kekayaan. Akan lebih bermakna bila kekayaan yang kita miliki kita salurkan pada sesama yang membutuhkan sebagai wujud solidaritas atau berbela rasa kepada mereka yang berkekurangan. Sekecil apa pun yang kita berikan, maka itu akan menumbuhkan pengharapan.
Semangat berbagi ini perlu terus ditumbuhkan pada anak-anak, kita mulai dari keluarga sendiri. Merayakan natal bersama keluarga dengan sedikit pesta tentu sah-sah saja. Asal jangan menjadi ajang pamer kemewahan. Jadi tunggu apa lagi?
Â
Selamat Natal bagi saudara, sahabat, dan teman yang merayakan.
Â
Â
Tasikmalaya, 23 Desember 2015
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H