Mohon tunggu...
Cay Cay
Cay Cay Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Belajar tak dibatasi usia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pamer Penderitaan

16 Maret 2015   13:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:35 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam berbagai obrolan yang kulakukan dengan teman-teman, sering muncul kisah -kisah  "menarik". Kata menarik sengaja kutulis dalam tanda kutip karena cerita yang terungkap umumnya bernada seragam. Bukan seragam indahnya, tapi justru seragam sebagai kisah-kisah muram.  Berikut ini adalah cerita dari tiga orang temanku. Hampir setiap saat ketika terlibat obrolan, mereka berkisah tentang penderitaan yang tak kunjung akhir.

Satu teman, sebut saja Ibu Lina (nama samaran) dengan gaya berapi-api bercerita tentang anaknya yang menderita autis. Sebagai seorang ibu yang harus membesarkan dua anak, yang salah satunya menyandang kebutuhan khusus, Ibu Lina sering mengatakan bahwa penderitaannya kalau diukur sepanjang Sabang sampai Merauke. Anaknya tak pernah bisa diam sehingga selalu membuat dirinya jengkel. Hehehe....jelas ini adalah pernyataan bombastis. Memang tak bisa dipungkiri, bahwa anaknya butuh perhatian dan penanganan ekstra. Tapi menggambarkan betapa penderitaannya luar biasa seolah tiada henti karena membenatng dari Sabang sampai Merauke, jelas ini sangat berlebihan.

Lain lagi cerita yang diungkap oleh Ibu Elita (samaran juga). Dengan gaya yang tak mau kalah, apalagi ditambah suara yang keras sebagaimana logat khas daerahnya, teman satu ini mengatakan bahwa sehari-harinya ia harus jungkir balik. Lho, apa pasal? Tak lain, tak bukan karena ia harus mengurus dua pasien di rumahnya. Pasien pertama adalah suaminya yang sudah pensiun dan punya penyakit asam urat. Penyakit suaminya ini sering kambuh. Sedang pasien lainnya adalah ayahnya sendiri yang sudah tua dan sakit-sakitan. Belum lagi ia masih harus menanggung biaya kuliah anak kembarnya yang paling kecil. Anak pertama dan kedua sudah mulai bekerja. "Wuaah...cuuapek deh!",  begitu setiap kali ujarnya.

Kalau Ibu Elita sudah berkisah tentang penderitaannya, wah rasanya sulit orang memutus pembicaraannya. Kisah yang satu berakhir, maka akan disambung dengan kisah lainnya. Mirip sebuah cerita serial. Seolah penderitaan yang dialaminya sungguh tiada duanya. Kadang aku dan teman lain suka balik bertanya, kapan ya Bu Elita ini bisa bersyukur atas hidupnya. Padahal dia secara ekonomi tergolong cukup mampu.

Kisah ketiga muncul dari teman laki-laki, saya sebut saja namanya Pak Sule (lagi-lagi ini samaran). Berbeda dengan Bu Lina dan Bu Elita yang merasa penderitaannya tak kunjung berakhir karena masalah keluarga, kalau Pak Sule lebih ke soal ekonomi. Bukan rahasia lagi di kalangan teman-teman bahwa Pak Sule ini punya banyak utang di sana-sini. Tiap kali ia mengeluh pada teman tentang kesulitan hidupnya, ujung-ujungnya adalah mau pinjam uang. Pak Sule bukanlah pengangguran tanpa penghasilan. Ia bekerja dan punya gaji, sementara istrinya juga punya penghasilan kecil-kecilan. Tapi entah mengapa, Pak Sule selalu merasa kekurangan hidupnya sehingga ia harus rajin cari pinjaman. Setiap kali bercerita, rasanya yang muncul dari mulutnya hanyalah keluhan. Mana yang gajinya sangat kecil, mana yang biaya sekolah anak mahal, belum lagi biaya hidup terus membengkak. Pokoknya, keluhan tiada akhir.

Aku dan teman-teman lain yang sering mendengar keluhan Pak Sule, sering was-was. Jangan-jangan dia mau cari utangan lagi pada kami. Hehehe...bukannya kami pelit lho, tapi kami hapal banget perilaku dan kebiasaan Pak Sule ini, khususnya dalam hal utang-mengutang.

Pamer penderitaan ! Yah, itulah yang dilakukan oleh teman-teman yang tadi kusebut kisahnya. Dalam berbagai obrolan, yang mereka ungkapkan hanyalah kisah malang. Mungkin maksudnya mereka berharap mendapat dukungan dari pendengarnya. Alih-alih simpati yang didapat, yang terjadi justru orang malah sebal.

Menebarkan cerita duka, apalagi kalau itu menyangkut keluarga sendiri tentu tak perlu dilakukan terus-menerus. Penderitaan yang diobral atau dipamer-pamerkan tak akan menuai simpati. Orang yang melakukan ini justru dipandang sebagai orang yang lemah dan tak tahu bersyukur. Soal penderitaan, tentu tak ada manusia yang bebas darinya. Namun, kita juga percaya bahwa hidup tak melulu muram. Di tengah kesulitan dan penderitaan, tentu masih terselip kegembiraan bahkan kebahagiaan.

Orang yang mampu mengolah kesulitan hidupnya, tidak sering mengeluh, bahkan tetap bisa bersyukur sesungguhnya adalah orang yang berjiwa besar. Orang seperti ini, akan lebih mudah bertahan dalam hidupnya. Ia tidak memakai "kaca mata hitam" sehingga dunia sekitarnya juga akan tetap terang meski hari sedang mendung.

Aku sendiri juga belajar dari ketiga teman tersebut. Sebisa mungkin kucoba tidak pamer penderitaan, sekali pun penderitaan kadang menghampiriku. Aku tahu dengan terus  mengobral cerita sedih tentang diri sendiri tak akan membuat orang simpati. Daripada mengumbar kesedihan, ya mendingan mengumbar keceriaan. Jadi biarkan penderitaan datang, namun jangan sampai kehilangan senyum dan rasa syukur. Akan ada waktunya penderitaan berlalu.***


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun