[caption id="attachment_329697" align="aligncenter" width="584" caption="Headline kotaksuara.kompasiana.kom | dok. pribadi"][/caption]
Ajang pesta demokrasi pemilu di negeri ini memang banyak memunculkan perilaku aneh di kalangan peserta yang maju sebagai caleg maupun capres. Salah satu perilaku yang kuanggap aneh adalah sikap sok akrab yang ditampakkan sesaat kepada rakyat. Mengapa kubilang sok akrab? Ya soalnya selama ini mereka tak kenal rakyat ataupun menyapa, tapi sekarang ketika mereka butuh suara rakyat mereka lalu menunjukkan wajah manis, tebar pesona sana-sini, dan merendah-rendah memohon keikhlasan rakyat untuk memberi dukungan.
Kemarin pagi, lagi-lagi saya dapat surat pribadi dari seorang caleg setelah sebulan lalu dapat kiriman surat pribadi dari capres. Surat yang kemarin kuterima tak jelas kapan dan siapa pengantarnya. Tahu-tahu surat itu sudah tergeletak di teras rumah saat pagi-pagi sekitar pukul 5 aku membuka pintu. Pada amplop surat tertera jelas nama dan alamat keluargaku. Jadi ini memang bukan surat yang nyasar, tapi surat yang sengaja disebarkan secara massal.
Dari hasil ngobrol dengan tetangga kiri-kanan diketahui bahwa surat memang disebarkan pagi-pagi ke seluruh warga kompleks. Hanya memang tak seorang pun yang tahu siapa yang menyebarkan. Mungkin sengaja disebarkan ketika banyak orang masih tidur agar tak ketahuan.
Ketika kubuka amplop tak kutemukan  embel-embel lain yang mengiringi surat. Pokoknya murni hanya surat yang isinya minta dukungan agar kami memilih si pengirim surat yang akan maju sebagai caleg. Ah, tapi aku tak kenal siapa caleg ini. Namanya juga terasa asing bagiku. Bagaimana mungkin aku akan memilihnya jika aku tak mengenalnya.
Entah kenapa aku tak pernah antusias menerima model surat seperti ini. Bagiku isi surat itu sungguh tak penting dan hanya bentuk penghamburan uang. Memangnya penerima surat akan serta merta mendukungnya? Kok ya naif banget sih para caleg ini. Apa tak ada pendekatan lain yang lebih pas dan mengena pada sasaran.
Rasanya setiap menjelang pemilu, rakyat lalu tiba-tiba menjadi sosok yang penting. Mereka diperebutkan oleh  siapa pun yang berkompetisi dalam pemilu. Dukungan suara rakyat menjadi sesuatu yang sangat berharga yang diharapkan mampu mengantarkan para peserta pemilu meraih kursi emas. Kalau perlu suara rakyat pun akan dibeli dengan uang yang entah didapat dari mana. Bisa jadi uang yang digunakan untuk membeli suara juga uang siluman. Ah, entahlah hanya Tuhan yang tahu.
Kembali ke soal surat, saat aku bercerita dengan teman tetangga yang juga dapat surat akhirnya kami hanya bisa tertawa. Oaalaah...kok ya ada-ada saja perilaku para caleg itu. Repot-repot ngirim surat padahal suratnya hanya dilirik dengan sebelah mata. Setelah itu dilempar entah ke mana. Nah, sia-sia kan? Jadi ngapain harus sok akrab?****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H